Kamis, 17 Juni 2010

Milinda

Setelah raja Asoka mangkat, penyebaran agama Buddha diteruskan oleh Milinda ( Menander ), Kaniska, Harsa dan raja – raja yang memerintah dinasti Pala ( 750 – 1150 M ).

Milinda, seorang raja berdarah India – Yunani, adalah pelindung dan penyokong agama Buddha yang kuat. Selama dua abad setelah memudarnya kekuasaan Mauryas, para penyerbu yang datang dari Yunani mengambil alih kekuasaan di wilayah Utara / Barat India dan di Afganistan.

Dalam kurun waktu ini tiga puluh orang raja berkuasa di wilayah kerajaan ini, tetapi hanya Milinda yang membuat kesan abadi dalam pikiran orang India. Hal ini disebabkan oleh keterlibatan Beliau dalam Dhamma.

Raja Milinda merupakan pelaku utama dalam buku bahasa Pali yang berjudul Milinda panha atau “ Pertanyaan – pertanyaan dari Milinda “. Sumber utama yang dapat dikumpulkan bagi tulisan ini berasal dari Milinda panha, catatan dari para sejarahwan Yunani seperti Strabo, Plutarch dan Justin dan dari mata uang logam yang dapat ditemukan di dua puluh dua tempat di lembah Kabul, Sindh dan di wilayah barat Uttar Pradesh yang bertuliskan “ Basileus Soteros Menandros “.

Di dalam buku Milinda panha dapat kita baca kalimat yang berbunyi “ Parinibbanato pancavassate atikkante “ yang berarti dan sekaligus mengukuhkan, bahwa Raja Milinda hidup 500 tahun setelah Sang Buddha Parinibbana. Dengan demikian dapat diperkirakan bahwa raja keturunan Yunani ini memerintah kira – kira sekitar abad pertama sebelum Masehi seperti dapat diketahui dari data yang ada.

Di buku Milinda panha, Milinda ( Menander ) disebut sebagai raja dari Yonakas ( Yonakanam raja Milinda ). Istilah bahasa Pali Yonaka atau Yona ( Skt. Yavana ) sama dengan Yauna dalam bahasa Persia kuno yang berarti bangsa Ionian, namun kemudian dipakai untuk semua bangsa Yunani. Negara Yonas dan Kambojas sudah dikenal di India sejak abad ke 6 S.M, bahkan disebut dalam Assalalayana Sutanta dari Majjhima Nikaya yang memberi informasi bahwa rakyat dari kedua negara tersebut hanya mengenal dua tingkatan sosial, yaitu Arya dan Dasa, berlainan dengan empat tingkatan sosial ( kasta ) yang dikenal dalam masyarakat India.

Sebagaimana sudah kita ketahui bersama, setelah Sangha Samaya III yang diselenggarakan di Pataliputta, Raja Asoka lalu mengirim dhammaduta – dhammaduta ke negara – negara yang jauh, seperti ke Yona dan wilayah Raja Antiochos II dari Syria, ke Raja Antigonos Gonatos dari Macedonia dan lain – lain seperti dapat terlihat di pahatan di ROCK EDICT II dan ROCK EDICT XIII dari raja Asoka. Juga terdapat catatan bahwa seorang bhikkhu asal Yunani yang bernama Yona Dhammarakhita telah dikirim ke negara Aparantaka untuk mengajar Dhamma di tempat tersebut.

Dengan demikian dapat diketahui bahwa Ajaran yang mulia dari Sang Buddha sudah dikenal oleh orang Yunani sejak lama sebelum Milinda dilahirkan. Maka tidak heranlah bahwa Milinda kemudian merasa dihantui oleh pikiran ragu – ragu terhadap beberapa bagian tertentu dari Ajaran Sang Buddha. Tetapi setelah keragu – raguannya dapat disingkirkan oleh Nagasena, Milinda menjadi seorang umat Buddha yang amat saleh dan membantu serta menyokong dengan kuat penyebaran agama Buddha.

Didalam buku Milinda panha dapat kita baca Milinda dilahirkan di desa Kalasi ( Kalasigamo ) di sebuah pulau bernama Alasanda di Alexandria ( sekarang Kandahar ). Ibu kotanya bernama Sagala ( sekarang Sialkot di negara Punjab ). Wilayah yang diperintahnya meliputi Peshawar, Lembah Kabul Utara, Punjab, Sindh, Kathiawar dan Uttar Pradesh Barat.

Milinda adalah seorang terpelajar yang luas pengetahuannya dan seorang yang sangat pandai berdebat. Ia menguasai berbagai macam ilmu dan sangat ahli dalam mempertahankan pendiriannya. Ia sangat berhasrat untuk mengetahui intisari agama Buddha, tetapi ia menghadapi kesulitan yang ia tidak dapat atasi sendiri. Ia sering mengunjungi guru – guru yang pandai dan termasyur, tetapi tidak ada seorang guru pun yang dapat memberinya jawaban yang memuaskan. Karena putus asa ia sampai mengeluarkan ucapan : “ Alangkah kosongnya negara Jambudvipa ( India ). Di seluruh Jambudvipa hanya terdapat kekosongan belaka. Tidak ada seorang petapa atau brahmana pun yang dapat berdiskusi denganku dan yang dapat memberi jawaban yang tepat tentang persoalan – persoalan yang aku hadapi “.

Secara kebetulan pada suatu hari ia melihat seorang bhikkhu, Nagasena, sedang berjalan keliling mengumpulkan makanan. Milinda terkesan sekali melihat sikap Nagasena yang demikian tenang dan agung. Setiap gerakannya memberi kesan berwibawa dan menuntut penghormatan dari orang yang melihatnya. Ia berjalan dengan penuh keseimbangan dengan kepala agak tunduk sedikit dan mata ditujukan ke arah depan.

Pemandangan ini memberi kesan yang mendalam kepada raja. Keesokkan harinya dengan diiringi lima ratus Yonakas raja mengunjungi Vihara Sankheyya di Sagal, yaitu tempat di mana Nagasena bermalam. Setelah memberi penghormatan sebagaimana layaknya, raja lalu bertanya :

“ Yang mulia, siapakah nama Anda dan dengan sebutan apa Anda dikenal ?”.

“ Baginda Yang Agung, namaku Nagasena. Itulah sebutan yang dipakai rekan – rekanku dalam Sangha. Para orang tua memberi anak – anak mereka nama seperti Nagasena, Surasena dan lain – lain, tetapi semua ini hanya merupakan ungkapan kata – kata belaka. Pada hakekatnya tidak adalah mahkluk seperti itu “. Jawaban Nagasena yang mengandung filosofis tinggi ini sangat berkesan di hati raja Milinda. Atas permohonan raja diskusi akan dilanjutkan di istana. Namun Nagasena memberitahukan raja, bahwa Beliau setuju diskusi dilanjutkan di istana apabila itu dilakukan dengan citra ilmiah ( Panditavada ) dan bukan dengan cara yang biasa dilakukan oleh seorang raja ( Rajavada ).

Di istana raja menyambut kedatangan Nagasena dengan penuh penghormatan. Kemudian raja membeberkan persoalan – persoalan dan dilema – dilema yang ia hadapi yang hingga saat itu belum ada seorang brahmana atau guru yang dapat memberi jawaban yang memuaskan. Tetapi semua pertanyaan raja Milinda ternyata dapat dijawab dengan sangat meyakinkan oleh Nagasena, sehingga keragu – raguan raja dapat disingkirkan seluruhnya.

Salah satu problema yang sangat mengganggu pikiran raja ialah, bahwa ia benar – benar tidak dapat mengerti penderitaaan Sang Buddha, yang meskipun mengakui adanya tumimbal lahir ( rebirth ) namun tidak dapat menerima bahwa ada roh atau Atma yang memasuki satu badan baru ( reinkarnasi ).

Persoalan ini ternyata dapat dipecahkan oleh Nagasena dengan cara yang sangat mengagumkan. Nagasena memberi perumpamaan tentang sebuah kereta, yang hanya dapat disebut kereta apabila bagian – bagiannya dari yang terbesar sampai yang terkecil masih merupakan satu kesatuan yang utuh. Tetapi apabila bagian – bagian itu dicerai beraikan, maka tidak lagi terdapat apa yang disebut “ kereta “. Diskusi ini dapat kita baca di buku Milinda panha yang merupakan buku non kanonik dari kepustakaan Pali di zaman permulaan berkembangnya agama Buddha dan disusun oleh Buddhaghosa.

Setelah berdiskusi selama beberapa hari raja merasa puas sekali dan menyatakan penghargaan dan terima kasih beliau kepada Nagasena yang dengan jawaban – jawabannya yang tepat dan akurat telah berhasil mengikis habis semua keragu raguan raja. Batinnya dipenuhi dengan kebahagiaan yang tidak dapat dilukiskan dengan kata – kata dan mohon kepada Nagasena untuk dapat diterima sebagai upasaka untuk seumur hidup. “ Upasakam mam bhante Nagasena dharetha ajjatagge panupetam saranam gatam ti “.

Raja Milinda yang sekarang secara resmi memeluk agama Buddha mendirikan sebuah vihara besar yang diberi nama Milinda vihara dan kemudian mempersembahkan vihara itu kepada Nagasena. Raja juga memberikan dana besar kepada Bhikkhu Sangha. Raja Milinda meninggal dunia sebagai seorang bhikkhu setelah terlebihdulu menyerahkan tahta kerajaan kepada anaknya. Diperkirakan bahwa Raja Milinda berhasil mencapai tingkat kesucian Arahat.

Di uang logam yang dikeluarkan di zaman Raja Milinda terdapat gambar Dhammacakra, satu bukti yang tidak dapat disangkal bahwa ia adalah seorang raja yang beragama Buddha. Milinda juga dikenal sebagai raja yang mempunyai rasa keadilan yang tinggi sehingga sangat dicintai oleh rakyatnya. Meskipun dengan mangkatnya, kekuasaannya juga turut lenyap, tetapi kenangan terhadap dirinya sebagai seorang raja yang terpelajar, adil dan bijaksana akan selalu diingat orang dengan diabadikan namanya di buku Milinda panha.

sumber :
PAHLAWAN DHAMMADUTA
Disusun oleh Maha Pandita Sasanacariya Sumedha Widyadharma
Diterbitkan oleh Sekolah Tinggi Sangha Dhammacakka, Jakarta
Cetakan Pertama, 1993

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Donasi 200/klik iklan, untuk membantu perkembangan Buddha Dhamma