Kamis, 17 Juni 2010

Asoka

Asoka adalah raja dari negara Magadha. Ayahnya bernama Bindusara yang mempunyai enam belas orang istri dan ibunya bernama Dhamma.

Ketika masih berusia muda Asoka sudah diangkat menjadi gubernur dari Avanti dengan ibukota bernama Ujjeni. Pada waktu ayahnya sedang menunggu ajalnya, Asoka datang menyerbu dan menduduki ibukota Pataliputta dan membunuh sebagian besar pangeran yang merupakan saudara – saudaranya sendiri, dan hanya beberapa saja yang dibiarkan hidup. Harap diketahui bahwa Asoka mempunyai seratus satu saudara laki – laki. Tahun itu adalah tahun ke 218 setelah Sang Buddha Parinibbana.

Pembantaian ini menimbulkan reaksi keras dikalangan istana, sehingga ia memerlukan waktu empat tahun untuk mengkonsolidasikan kedudukannya agar dapat dinobatkan menjadi raja dari Magadha. Adiknya bernama Tissa, diangkat menjadi raja muda, tetapi Tissa kemudian menjadi Bhikkhu dan mencapai tingkat Arahat. Adik Asoka yang bernama Vitasoka juga menjadi Bhikkhu dan mencapai tingkat Arahat.

Salah seorang istrinya bernama Devi, juga disebut sebagai Vedisa-Mahadevi, yang dikenalnya ketika ia dalam perjalanan ke Ujjeni singgah di rumah seorang saudagar kaya di Vedisagiri yang mempunyai seorang putri bernama Devi. Devi menjadi ibu dari Mahinda dan Sanghamitta. Putri Sanghamitta menikah dengan Aggibrahma dan mempunyai anak laki – laki bernama Sumana.

Ketika Asoka pulang ke Pataliputta, Devi tidak ikut, karena di tempat ini sudah menunggu istrinya yang bernama Asandhamitta. Asandhamitta mangkat setelah Asoka memerintah selama tiga puluh tahun. Empat tahun kemudian ia mengangkat Tissarakkha sebagai ratu.

Setelah dinobatkan sebagai raja, Asoka pada mulanya mengikuti jejak ayahnya ( Bindusara ) dan kakeknya ( Chandragupta ) dan ingin menyempurnakan penaklukan seluruh daratan India. Ia menyerbu dan menaklukkan negara Kalinga ( sekarang Orissa ) dan menggabungkan dengan negerinya. Ratusan ribu orang mati, luka, cacat dan ditawan. Tetapi pembantaian besar – besaran ini dan matinya beribu – ribu manusia membuat Asoka sangat menyesal dan menjadi titik balik dari penghidupan sebelumnya.

Untuk menyatakan rasa menyesal dan sedih hatinya kalau teringat pembantaian itu, Raja Asoka memerintahkan untuk membuat dekrit dengan cara memahatnya di batu cadas gunung yang terkenal sebagai ROCK EDICT XIII . “ Ia menerangkan kepada umum bahwa ia tidak akan menggunakan pedangnya lagi untuk menaklukkan negara lain dan ia berharap agar semua mahkluk hidup dapat melakukan “ non-violence “, hidup bersih dan ramah tamah “. Ini tentu saja dapat dianggap sebagai kemenangan yang terbesar dari “ Yang dikasihi Oleh Para Dewa “, yaitu penaklukan dengan cinta kasih. Bukan saja ia menolak peperangan untuk dirinya sendiri, namun juga menyatakan keinginannya : “ … agar juga anak – anaknya dan cucu – cucunya tidak lagi berpikir tentang penaklukan negara – negara lain sebagai sesuatu yang ada harganya untuk dilakukan. Mereka harus berpikir tentang penaklukan dengan cinta kasih yang berguna untuk dunia ini dan juga berguna untuk di alam baka kelak. “

Hal ini dilakukan Raja Asoka ketika ia berada di puncak kejayaannya. Dan sejarah telah membuktikan bahwa negara – negara tetangganya tidak mengambil manfaat dari cinta kasih Asoka dan menyerbu dengan kekuatan tentara mereka atau tergoda untuk melakukan pemberontakan atau kerusuhan dalam negeri semasa Asoka masih hidup. Sebaliknya negara yang besar berada dalam keadaan aman, damai dan sejahtera dan negara tetangganya ternyata menerima kepemimpinannya.

Pada suatu hari dari jendela istana Asoka melihat saudara sepupunya, Nigrodha sedang berjalan. Karena terdapat ikatan batin di antara mereka pada kelahiran yang lalu, Asoka lalu memanggil Nigrodha untuk mampir di istana. Asoka dan Nigrodha pada kelahiran yang lalu adalah saudara kandung dan berdagang madu. Pada suatu hari mereka memberi dana madu kepada seorang Pacceka Buddha. Seorang gadis bernama Asandhamitta yang menunjukkan kepada Pacceka Buddha tersebut kedai madu yang dikelola oleh Asoka dan Nigrodha.

Di istana Nigrodha memberikan uraian tentang Appamadavagga yang membuat Asoka sangat tertarik, sehingga mulai hari itu Asoka menjadi penyokong dan pelindung dari Nigrodha dan anggota Sangha lainnya.

Menurut Samantapasadika, penghasilan Asoka yang berjumlah 500.000 mata uang zaman itu dibagi sebagai berikut :

100.000 mata uang diberikan kepada Nigrodha yang dapat dipakai untuk apa saja.

100.000 mata uang untuk membeli barang – barang persembahan di Vihara Agama Buddha

Seperti dupa, bunga dan lain – lain.

100.000 mata uang untuk membeli makanan, minuman dan keperluan Sangha lainnya.

100.000 mata uang untuk pengembangan agama Buddha, dan

100.000 mata uang untuk membeli obat – obatan bagi yang sakit.

Setelah mendengar dari Moggaliputta Tissa Mahathera bahwa Ajaran sang Buddha terdiri dari 84.000 Dhamma, Asoka mendirikan vihara di berbagai desa dan kota di mana terdapat 84.000 buah cetiya. Dan di Pataliputta Asoka membangun sebuah vihara besar dan megah. Konon diceritakan bahwa dengan bantuan Raja Naga Mahakala ia membuat patung Sang Buddha dalam ukuran sebenarnya, dimana Asoka sering memberi persembahan – persembahan yang mewah.

Kedua anaknya, yaitu putranya Mahinda dan putrinya Sanghamitta, pada usia muda ditahbiskan menjadi bhikkhu dan bhikkhuni dalam upacara yang dipimpin oleh Moggaliputta Tissa dan Dhammapala di tahun ke enam pemerintahannya. Dengan peristiwa ini Asoka meningkat dari seorang Paccadayaka menjadi Sasanadayadin.

Asoka juga membuat dekrit di atas batu cadas gunung yang dikenal sebagai “ Bhabra Edict “ yang terdiri dari tujuh baris dan sebagian besar diambil dari ayat – ayat suci bahasa Pali. Dekrit ini berbunyi : “ … Asoka menginginkan agar semua orang, bhikkhu maupun orang awam, membaca dan mempraktikkannya dalam penghidupan sehari – hari. Sebab dengan berbuat demikian mereka, pria maupun wanita, akan menjadi orang yang lebih baik. Asoka memberi penghormatan yang tinggi kepada Buddha, Dhamma dan Sangha. “

Selanjutnya Asoka banyak melakukan perjalanan ziarah ke tempat – tempat agama Buddha. Di tahun pemerintahannya yang kedua puluh ia mengunjungi Taman Lumbini di mana Sang Buddha dilahirkan. Di tempat ini ia mendirikan “ Pilar Asoka “ di mana terdapat tulisan sebagai berikut : “…bahwa ia mengunjungi tempat itu untuk memberi penghormatan kepada tempat di mana Sang Buddha dilahirkan “. Dan untuk memperingati kunjungannya ke Taman Lumbini ia membebaskan rakyat setempat dari kewajiban membayar pajak kepada pemerintah.

Hal yang sama dilakukan Asoka ketika mengunjungi Buddha Gaya dan Sarnath, di mana Sang Buddha memperoleh Penerangan Agung dan di mana Sang Buddha memberikan khotbahNya yang pertama. Di Sarnath dulu terdapat sebuah tugu ( pilar ) yang sekarang sudah rusak, di mana terdapat pemberitahuan tentang pemecatan para bhikkhu dari Sangha karena menimbulkan perpecahan dalam Sangha.

Bagaimanakah pandangan Asoka mengenai Ajaran Sang Buddha dan dengan cara apakah Asoka mempraktikkan Ajaran itu dalam kehidupannya sehari – hari ? Ia mengakui bahwa kehidupan bagi semua mahkluk adalah suci, oleh karena itu ia tidak membenarkan binatang – binatang untuk dijadikan sesajen atau disembelih untuk keperluan lain. Pada suatu hari ia mengetahui bahwa binatang dalam jumlah besar disembelih di dapur istana untuk disantap oleh penghuni istana. Tetapi kemudian ia memerintahkan untuk hanya menyembelih dua ekor ayam kalkun dan seekor rusa. Selanjutnya ia menetapkan bahwa ini pun di kemudian hari harus dihilangkan sama sekali. Ia menginginkan agar rakyat mengembangkan kebajikkan moral, seperti taat kepada Ajaran Sang Buddha, melaksanakan sila dalam penghidupan sehari – hari, mengembangkan rasa kasih sayang kepada semua mahkluk hidup, suka menolong orang lain dan tidak kikir, menjaga kesucian hati, kelemah lembutan, serta menghormat dan patuh kepada orang tua dan guru, bermurah hati dan ramah tamah kepada sahabat, kenalan dan bahkan pelayan dan budak pun harus diperlakukan dengan baik dan manusiawi.

Dengan mencontoh pandangan Sang Buddha tentang toleransi beragama, Asoka membuat dekrit di batu cadas gunung ( hingga kini masih dapat di baca ) yang berbunyi : “… janganlah kita menghormat agama kita sendiri dengan mencela agama orang lain. Sebaliknya agama orang lain hendaknya dihormat atas dasar tertentu. Dengan berbuat begini kita membantu agama kita sendiri untuk berkembang disamping menguntungkan pula agama lain. Dengan berbuat sebaliknya kita akan merugikan agama kita sendiri di samping merugikan agama orang lain. Oleh karena itu, barang siapa menghormat agamanya sendiri dengan mencela agama lain – semata – mata karena dorongan rasa bakti kepada agamanya dengan berpikir ‘ bagaimana aku dapat memuliakan agamaku sendiri ‘ maka dengan berbuat demikian ia malah amat merugikan agamanya sendiri. Oleh karena itu toleransi dan kerukunan beragamalah yang dianjurkan dengan pengertian, bahwa semua orang selain mendengarkan ajaran agamanya sendiri juga bersedia untuk mendengarkan ajaran agama yang dianut orang lain… “

Asoka juga membuat daftar dari hewan yang harus dibebaskan dari penyembelihan. Binatang babi yang sedang mengandung atau yang sedang menyusui anaknya termasuk dalam kategori ini. Selanjutnya ia juga melarang pengebirian dan pemberian cap ( dengan besi panas ) di badan binatang pada hari uposatha. Ia juga pada waktu – waktu tertentu memberi pengampunan kepada narapidana. Ia menginginkan agar semua orang lebih mendekati diri mereka dengan para dewa, sehingga dengan demikian jarak perbedaan antara dewa dan manusia diperkecil.

Asoka juga mengangkat pejabat – pejabat keagamaan dari berbagai tingkatan dan ditempatkan di berbagai daerah untuk membantu khalayak ramai menjalankan kehidupan beragama yang benar dan saleh.

Dekrit – dekrit Asoka biasanya dipahat di batu cadas gunung atau di pilar – pilar batu. Batu cadas biasanya ditempatkan di perbatasan negaranya yang besar dan pilar batu ditempatkan di sepanjang jalan raya atau di tempat ziarah di mana biasanya banyak orang berkumpul. Ia menginginkan agar rakyatnya melaksanakan kehidupan yang beriman dan saleh, sebagaimana ia sendiri dan keluarganya juga mempraktikkannya. Daripada pergi berburu Asoka lebih senang melakukan perjalanan ziarah ke tempat – tempat yang mengandung arti keagamaan. Dengan demikian ia dapat bertemu dengan para bhikkhu, petapa dan brahmana yang terpelajar. Setelah melakukan diskusi dengan para rohaniawan tersebut Asoka lalu memberikan dana yang besar. Selain itu ia sering melakukan perbuatan yang mulia dengan menanam pohon, menggali sumur untuk keperluan rakyat, membuka rumah – rumah sakit untuk memberi pengobatan kepada manusia dan juga kepada binatang. Hal di atas bukan saja dilakukan di negaranya sendiri, tetapi juga di negara tetangga, seperti di Colas, Pandyas, Kerala dan negara – negara lain, sampai di Srilangka.

Sebagai penganut agama Buddha yang baik dan fanatik, Asoka memberikan sumbangan besar kepada vihara – vihara. Hal ini menarik perhatian para petapa dan yogi yang sekarang banyak kehilangan pengikut. Mereka lalu berbondong – bondong memasuki Sangha di mana mereka mendambakan kehidupan yang lebih enak dan senang. Banyak dari mereka mengabaikan vinaya kebhikkhuan sebab pada hakekatnya mereka masih berpedoman kepada ajaran dan kepercayaan mereka yang lama dan mengajarkan ajaran mereka yang sekarang diberi “ cap “ sebagai ajaran Sang Buddha. Jumlah para bhikkhu dan petapa yang munafik bahkan menjadi lebih besar dari para bhikkhu yang taat kepada Dhamma dan Vinaya yang benar. Salah satu akibatnya ialah bahwa selama tujuh tahun tidak lagi diadakan pertemuan Uposatha dan Pavarana di vihara – vihara. Para bhikkhu yang taat kepada Dhamma dan Vinaya yang benar menolak untuk menghadiri pertemuan tersebut bersama – sama dengan para petapa.

Mendengar bahwa Sangha telah gagal untuk menyelenggarakan pertemuan keagamaan membuat raja Asoka sangat sedih. Oleh karena itu ia mengeluarkan perintah resmi agar pertemuan Uposatha harus kembali diadakan di vihara – vihara. Satu kesalahan besar telah diperbuat oleh menteri yang ditugaskan mengawasi pelaksanaan perintah tersebut.

Ia salah menafsirkan perintah Raja Asoka sehingga para bhikkhu yang tidak mau melaksanakan perintah raja Asoka dipenggal kepalanya. Ketika berita yang menyedihkan ini didengar oleh raja Asoka, beliau merasa sangat terpukul dan sedih sehingga ia mohon maaf atas kesalahannya itu.

Ia bertanya kepada Sangha apakah Sangha menganggap ia bertanggung jawab mengenai hal ini. Ada anggota Sangha yang mengatakan bahwa ia tidak bertanggung jawab tetapi ada juga anggota Sangha yang mengatakan bahwa ia bertanggung jawab. Asoka menjadi bingung dan bertanya apakah ada seorang bhikkhu yang dapat memberi ia kepastian mengenai hal ini. Mereka lalu menjawab, bahwa hanya Moggalliputta Tissa Mahathera sajalah yang dapat memberi jawaban yang tepat. Oleh karena itu ia lalu mengirim utusan untuk mengundang Moggalliputta Tissa datang ke Pataliputta.

Setelah beberapa kali gagal, akhirnya Moggalliputta Tissa bersedia juga datang ke Pataliputta dengan menggunakan perahu. Ketika tiba di Pataliputta bhikkhu agung tersebut langsung dijemput oleh Raja Asoka yang turun ke sungai sampai sebatas lutut dan mengulurkan tangan kanannya. Dengan penuh hormat Raja Asoka menyambut Moggalliputta Tissa Mahathera turun dari perahu.

Moggalliputta Tissa Mahathera diberi tempat menginap di taman utama istana dan mendapat penghormatan yang sangat besar. Beliau kemudian dimohon untuk mempertontonkan satu keajaiban dan seketika itu juga sang Mahathera memperlihatkan kemampuannya untuk membuat keajaiban dengan membuat bumi bergetar. Sesudah raja tidak lagi ragu – ragu atas kepandaian dan kemampuan Mahathera, Raja lalu bertanya apakah ia bersalah dan bertanggung jawab atas terbunuhnya para bhikkhu oleh menterinya.

Jawaban Mahathera adalah : “ Tidak ada kesalahan apabila tidak ada cetana ( kehendak ) yang tidak baik. “ Jawaban ini ternyata memuaskan hati raja yang sangat cermat itu. Mahathera kemudian memberikan uraian Dhamma kepada raja selama satu minggu.

Raja Asoka kemudian mengirim undangan kepada semua bhikkhu untuk menghadiri satu Persidangan Agung dari Sangha yang akan dipimpin oleh Moggalliputta Tissa. Sangha Samaya Ketiga berlangsung selama sembilan bulan. Sidang ini berhasil menertibkan beberapa perbedaan pendapat ( antara lain tentang adanya Atma yang kekal abadi ) yang menyebabkan perpecahan dalam Sangha. Di samping itu sidang memeriksa kembali dan menyempurnakan kanon ( Kitab Suci ) Pali. Di Sidang Agung Ketiga ini ajaran Abhidhamma ( Kathavatthu Pakarana ) diulang secara tersendiri, sehingga dengan demikian lengkaplah sudah Kanon Pali yang terdiri dari Tiga Kelompok Besar ( Vinaya, Sutta dan Abhidhamma ), meskipun masih belum ditulis dalam kitab dan masih dihafal di luar kepala oleh hadirin yang terdiri dari seribu orang bhikkhu yang taat kepada Dhamma dan Vinaya yang benar. Sedangkan para bhikkhu yang terkena penertiban ( enam puluh ribu orang ) meninggalkan golongan Sthaviravada ( pendahulu dari golongan yang sekarang dikenal sebagai Theravada ) dan mengungsi ke Utara. Hasil lain yang penting dari sidang ini adalah pengiriman dhammaduta ke segenap penjuru dunia. Majjhantika dikirim ke Kasmir ; Gandhara dan Mahadeva ke Mahisamandala ; Rakkhita ke Vanavasa ; Yona Dharmmarakkhita ke Aparantaka ( India Barat ) ; Maharakhita ke Yona ; Majjhima ke wilayah Himalaya ; Sona dan Uttara ke Suvannabhumi ( Malaya dan Sumatera ) ; Mahinda dengan Itthiya, Uttiya, Sambala dan Bhaddasala ke Srilanka.

Menurut pahatan yang terdapat di ROCK EDICT XIII Asoka menerangkan bahwa ia mengirim dhammaduta ke kerajaan yang jauh dari kerajaannya sendiri, yaitu ke Antiochus ( Antiyoko ), raja dari Syria ; ke empat kerajaan yang lebih jauh lagi, yaitu Ptolemy ( Turameya ) dari Mesir ; Antigonos ( Antakini ) dari Macedonia ; Alexander ( Alikasundara ) dari Epirus ( satu wilayah kuno di Yunani Utara ) ; Magas dari Cyrenia di Afrika Utara. Ia juga menyebut nama – nama seperti Yavanas, Kemboja, Pandyas, Colas, Andhras, Pulindas, Srilanka dan lain – lain.

Di tahun ke delapan belas pemerintahannya, atas permohonan Devanampiyatissa ia mengirim putrinya, Sanghamitta, ke Srilangka dengan membawa cangkokan dari pohon bodhi yang tumbuh di Buddha Gaya. Sanghamitta kemudian membentuk dan memimpin Sangha Bhikkhu yang pertama di Srilanka.

Sebelum itu Asoka mengirim cucunya, Sumana, ke Srilanka dengan dibekali beberapa relik dan mangkuk untuk mengumpulkan makanan dari Sang Buddha untuk ditempatkan di stupa – stupa. Asoka memerintah selama 37 tahun dan kemudian terkenal dengan nama Dhammasoka karena jasanya besar dalam membantu pengembangan agama Buddha.



Sumber :
PAHLAWAN DHAMMADUTA
Disusun oleh Maha Pandita Sasanacariya Sumedha Widyadharma
Diterbitkan oleh Sekolah Tinggi Sangha Dhammacakka, Jakarta
Cetakan Pertama, 1993

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Donasi 200/klik iklan, untuk membantu perkembangan Buddha Dhamma