Senin, 28 Juni 2010

Intisari IV

INTISARI AGAMA BUDDHA
Merupakan karya tulis Ven. Narada Mahathera
dengan judul asli “ Buddhism in Nutshell.”
Penerbit : Yayasan Dhamma Phala, Semarang



CORAK UTAMA AGAMA BUDDHA

Inti yang terpenting dari Buddha Dhamma adalah 4 Kesunyataan Mulia yaitu :

1. Dukkha : Problem dan masalah dari semua makhluk.

2. Samudaya : Sebab yang menimbulkan problem dan masalah itu.

3. Nirodha : Padamnya dari semua problem.

4. Magga : Jalan yang mengakhiri semua problem dan masalah.

Apakah Kebenaran Mulia tentang Dukkha itu ? Kelahiran, usia tua, kematian adalah dukkha ; kesakitan, keluh kesah, ratap tangis, kesedihan dan putus asa adalah dukkha ; berpisah dengan yang dicintai, berkumpul dengan yang tidak disenangi, tidak memperoleh apa yang diinginkan adalah dukkha. Singkatnya, lima kelompok kemelekatan adalah dukkha jadi secara tegas harus kita terima problem dan masalah itu sebagai kenyataan hidup yang tidak bisa dihindari oleh siapapun.

Apakah Kebenaran Mulia tentang sebab dari Dukkha itu ? “ Itulah nafsu keinginan ( tanha ) yang mengakibatkan kelahiran berulang – ulang ; yang mencari kenikmatan kesana kemari ; yang terdiri atas nafsu keinginan akan kenikmatan – kenikmatan indria ( kama-tanha ) , karena adanya kama-tanha inilah yang akan menimbulkan Bhava tanha ( menginginkan hal – hal yang positif selalu kita dapatkan ), dan akhir bisa menimbulkan penolakan terhadap hal – hal yang tidak diinginkan ( Vibhava tanha ). Semua ini harus dikurangi, dilemahkan dan disingkirkan.

Apakah Kebenaran Mulia tentang Akhir dari Dukkha itu ? “ Itulah penghancuran total, berakhirnya sama sekali, dilepaskannya, ditinggalkannya, tidak terdapatnya nafsu keinginan dan selalu berada di dalam batin yang tenang, damai dan suci. Hal ini harus direalisasikan oleh diri sendiri “.

Apakah Kebenaran Mulia tentang jalan yang membawa kepada akhir Dukkha ? Itulah Delapan Faktor Jalan Utama, yaitu :

1. Pengertian Benar ( samma – ditthi )

2. Pikiran Benar ( samma – sankappa )

3. Ucapan Benar ( samma – vaca )

4. Perbuatan Benar ( samma – kammanta )

5. Penghidupan Benar ( samma – ajiva )

6. Usaha Benar ( samma – vayama )

7. Perhatian Benar ( samma – sati )

8. Konsentrasi Benar ( samma – samadhi )



Siapapun yang menjalankan ke delapan faktor jalan utama ini. Mereka akan mendatangkan kebahagiaan bagi lingkungannya, kebahagiaan dan ketenangan bagi pikiran mereka sendiri dan akhirnya mampu membuat batin dan pikirannya Suci murni yang harus dijalankan bagi para Bijaksana.

Apakah para Buddha muncul di dunia atau tidak, Empat Kebenaran Mulia ini tetap ada dalam alam semesta. Sang Buddha hanya menunjukkan kebenaran yang tersembunyi dalam jurang waktu yang dalam.

Bila diartikan secara alamiah, Dhamma dapat disebut hukum sebab dan akibat. Keduanya ini mencakup seluruh kumpulan ajaran Sang Buddha.

Tiga yang pertama mencakup filsafat agama Buddha, yang keempat membabarkan etika agama Buddha. Berdasarkan pada filsafat tersebut, Empat Kebenaran Mulia ini ada pada badan jasmani kita sendiri. Seperti telah disabdakan oleh Sang Buddha : “ Dalam tubuh yang panjangnya dua depa ini bersama dengan pencerapan dan pikirannya, kunyatakan adanya dunia, asal dunia , akhir dunia dan jalan yang membawa kepada akhir dunia “. Disini, istilah dunia diterapkan untuk dukkha.

Agama Buddha berputar pada poros dukkha ( penderitaan ). Tetapi tidak berarti bahwa agama Buddha bersifat pesimis. Agama Buddha bukan mutlak pesimis ataupun mutlak optimis. Tetapi sebaliknya, agama Buddha mengajarkan kebenaran yang terletak antara keduanya. Orang boleh menyatakan Sang Buddha bersifat pesimis bila Beliau hanya mengajarkan kebenaran tentang penderitaan tanpa memberikan suatu cara untuk mengakhirinya. Sang Buddha melihat penderitaan dan memberikan obat mujarab untuk penyakit umum umat manusia ini.

Menurut Sang Buddha, kebahagiaan tertinggi yang dapat dicapai adalah NIBBANA, yaitu padamnya penderitaan dan kemelekatan secara total.

Pengarang artikel tentang pesimisme dalam Encyclopaedia Britannica menulis : “ Pesimisme adalah suatu sikap putus asa terhadap kehidupan, karena adanya suatu pandangan umum yang salah bahwa penderitaan dan keburukan lebih menonjol dalam kehidupan. Sesungguhnya, ajaran asli Sang Buddha sama optimisnya dengan pandangan dunia barat. Menyatakan agama Buddha bersifat pesimis hanyalah semata – mata menerapkan prinsip dunia barat dimana kebahagiaan tak mungkin ada tanpa kepribadian. Penganut Buddhis yang sejati melangkah maju dengan penuh kegairahan untuk dapat mencapai kebahagiaan abadi “.

Pada umumnya, kenikmatan akan kesenangan indria merupakan suatu kebahagiaan yang tertinggi bagi rata – rata orang. Sudah pasti terdapat semacam perasaan bahagia yang amat didambakan. Tetapi perasaan itu bersifat semu dan sementara. Menurut Sang Buddha, kebebasan dari kemelekatan merupakan satu kebahagiaan yang lebih tinggi.

Sang Buddha tidak mengharap agar siswa Beliau selalu merenungi penderitaan dan menjalani suatu kehidupan yang sengsara. Beliau mengharapkan agar para siswa-Nya selalu bahagia dan gembira, karena kegembiraan ( piti ) merupakan salah satu faktor Penerangan Sempurna.

Kebahagiaan sejati terdapat di dalam diri sendiri, tidak ditentukan oleh kekayaan, anak, kehormatan atau kemasyuran. Bilamana faktor – faktor tersebut disalahgunakan, diperoleh secara paksa atau tidak halal, diselewengkan atau bahkan dimiliki dengan kemelekatan, mereka akan menjadi sumber penderitaan bagi pemiliknya.

Umat Buddha menerima penderitaan sebagaimana adanya dan mencari sebab untuk melenyapkannya. Penderitaan tetap ada selama masih ada nafsu keinginan. Penderitaan hanya dapat dilenyapkan dengan berjalan sesuai Delapan Faktor Jalan Utama untuk selanjutnya mencapai Kebahagiaan Agung – Nibbana.

Empat Kebenaran Mulia, ini dapat dibuktikan melalui pengalaman. Buddha Dhamma tidak didasarkan pada rasa takut akan sesuatu yang tidak diketahui, tetapi didirikan di atas fakta – fakta yang dapat diuji oleh diri kita sendiri dan dibuktikan melalui pengalaman. Karena itu, agama Buddha adalah praktis dan pragmatis.

Sistem yang praktis dan pragmatis seperti itu tidak berisi ajaran – ajaran rahasia. Dengan begitu, keyakinan membuta merupakan hal yang asing bagi umat Buddha. Dimana tidak terdapat keyakinan membuta, tidak akan ada paksaan atau fanatisme. Demi kebanggaan agama Buddha harus dikatakan bahwa sepanjang penyebarannya selama 2.500 tahun tak ada setetespun darah yang ditumpahkan atas nama Sang Buddha. Tak ada raja – raja besar yang menggunakan kekuatan pedangnya untuk menyebarluaskan Dhamma dan tak ada orang yang dipaksa menjadi umat Buddha dengan kekerasan atau cara – cara tercela. Sang Buddha merupakan misionaris pertama dan terbesar yang pernah hidup di dunia ini.

Aldous Huxley menulis : “ Di antara semua agama besar yang ada, hanya agama Buddha menapak jalannya tanpa kekerasan, paksaan atau penganiayaan.

Lord Russell menyatakan : “ Di antara agama – agama besar, aku lebih menyukai agama Buddha karena di dalamnya tidak terdapat unsur paksaan apapun “.

Agama Buddha lebih menarik bagi orang – orang intelektual daripada bagi orang – orang emosional. Agama Buddha lebih mengutamakan kwalitas para pengikutnya daripada kwantitasnya.

Pada suatu ketika, Upali, seorang penganut Nigantha Nataputta, menemui Sang Buddha. Ia merasa senang mendengar uraian Dhamma Beliau, sehingga ia segera menyatakan keinginannya untuk menjadi seorang pengikut Sang Buddha. Tetapi Sang Buddha menasehatinya dengan berkata : “ O, kepala rumah tangga, lakukanlah penelitian yang mendalam atas suatu kebenaran. Sungguh baik kalau orang terkenal seperti dirimu melakukan penelitian yang mendalam terlebih dahulu “.

Upali merasa amat gembira mendengar nasehat Sang Buddha yang tak disangka ini, lalu ia berkata : “ Bhante, seandainya aku menjadi pengikut agama lain, maka umatnya akan mengarak diriku sepanjang jalan dengan berteriak – teriak “ Seorang jutawan telah meninggalkan keyakinannya yang lama dan memeluk keyakinan kita “. Tetapi, Bhante malah menasehati agar aku meneliti lebih jauh. Pernyataan-Mu ini membuat diriku lebih yakin. Oleh karena itu Bhante untuk kedua kalinya aku menyatakan diriku berlindung kepada Sang Buddha, Dhamma serta Sangha “.

Agama Buddha dipenuhi dengan semangat kebebasan untuk melakukan penyelidikan dan kesempurnaan toleransi. Merupakan ajaran bagi mereka yang terbuka pikirannya dan memiliki perasaan simpati untuk menerangi dan menghangati seluruh dunia dengan sinar kebijaksanaan dan kasih sayang pada semua makhluk yang berjuang di dalam lautan samsara ( kelahiran dan kematian ).

Sang Buddha begitu toleran sehingga Beliau tidak pernah menggunakan kekuasaan-Nya untuk memberi perintah kepada para pengikut-Nya. Beliau hanya berkata : “ Hal ini pantas dilakukan olehmu. Hal ini tidak pantas dilakukan olehmu. “ Beliau tidak memerintah, tetapi menasehati / menghimbau.

Toleransi Sang Buddha ini tertuju kepada pria, wanita dan semua makhluk hidup. Sang Buddhalah yang pertama kali mencoba menghapuskan sistem perbudakan dan dengan penuh semangat menentang sistem kasta yang berakar kuat di tanah India waktu itu. Menurut pendapat Beliau, bukan kelahiran yang membuat seseorang menjadi sampah masyarakat atau pahlawan, melainkan perbuatan – perbuatannya sendiri. Kasta atau warna kulit tidak menghalangi seseorang untuk menjadi umat Buddha atau untuk masuk menjadi anggota Sangha ( sebagai seorang Bhikkhu ). Para nelayan, tukang sapu, pelacur, brahmana atau kesatria bebas menjadi anggota Sangha dan memperoleh hak dan juga tingkat kedudukan yang sama. Misalnya Upali, seorang tukang cukur diangkat sebagai kepala dalam hal Vinaya. Sunita, tukang sapu telah ditahbiskan oleh Sang Buddha sendiri dan akhirnya mencapai tingkat kesucian Arahat. Angulimala, seorang penjahat, ditahbiskan menjadi Bhikkhu oleh Sang Buddha dan dikemudian hari menjadi seorang suci yang penuh welas asih. Alavaka yang begis mencari perlindungan pada Beliau dan akhirnya mencapai tingkat kesucian. Ambapali, seorang pelacur, menjadi Bhikkhuni dan mencapai tingkat Arahat. Masih banyak lagi contoh – contoh dalam kitab suci Tipitaka yang memperlihatkan bahwa pintu agama Buddha terbuka lebar bagi semua orang, tanpa memandang kasta, warna kulit, atau kedudukan.

Adalah Sang Buddha yang mengangkat kedudukan wanita yang tertindas. Beliau bukan hanya menyadarkan mereka akan pentingnya diri mereka bagi masyarakat, tetapi juga membentuk persaudaraan hidup suci yang pertama di dunia, lengkap dengan aturan – aturan dan disiplinnya.

Istilah Pali yang dipergunakan untuk menyebut wanita ialah “ matugama “, yang berarti masyarakat ibu. Sebagai seorang ibu, wanita menempati suatu kedudukan yang penting dalam agama Buddha. Bahkan istri dianggap sebagai “ kawan terbaik “ ( parama sakha ) bagi suami. Walaupun pada awalnya Sang Buddha menolak pembentukan Persamuan Hidup Suci untuk wanita dengan alasan yang kuat, namun akhirnya Sang Buddha mengabulkan permohonan ibu tiri-Nya, Pajapati Gotami, dan mendirikan Sangha Bhikkhuni. Sama seperti Arahat Sariputra dan Monggallana yang ditunjuk Beliau sebagai dua siswa utama dalam Sangha Bhikkhu, demikian juga Beliau menunjuk Arahat Khema dan Upallavana sebagai dua siswi wanita lainnya yang menjadi pengikut Beliau yang saleh dan setia.

Pada suatu ketika, kepada Raja Kosala yang merasa tidak senang mendengar berita bahwa permaisurinya melahirkan seorang putri, Sang Buddha berkata : “ Seorang anak wanita, O Raja, kadang – kadang terbukti merupakan keturunan yang lebih baik daripada pria “.

Banyak wanita, yang dulunya dikucilkan dan diremahkan telah mengangkat dirinya dengan berbagai cara, memperoleh kebebasan mereka dengan mengikuti Dhamma dan memasuki Sangha. Dalam Sangha inilah, yang dikemudian hari tebukti merupakan berkah besar bagi banyak wanita, permaisuri, putri raja, anak – anak wanita keluarga bangsawan, janda – janda, ibu – ibu yang malang, wanita – wanita yang sengsara, pelacur – pelacur yang patut dikasihani, semuanya meskipun berbeda dalam kasta dan kedudukan, berjumpa dalam satu wadah. Disini mereka memperoleh hiburan dan kedamaian dan menghirup udara kebebasan yang tidak dapat dinikmati oleh mereka dalam villa – villa dan bangsal – bangsal istana.

Sang Buddha juga mencegah upacara pengorbanan binatang – binatang dan menganjurkan agar para siswa-Nya mengembangkan cinta kasih ( metta ) mereka terhadap semua makhluk hidup, juga pada makhluk yang terkecil sekalipun yang merayap di bawah kaki seseorang. Tak ada orang yang mempunyai hak atau kekuasaan untuk menghancurkan kehidupan makhluk lain, karena kehidupan amat berharga bagi semua makhluk.

Seorang umat Buddha yang sejati akan memancarkan cinta kasih ini kepada semua makhluk dan menyamakan dirinya dengan semuanya, tidak membuat perbedaan apapun berkenaan dengan kasta, warna kulit atau jenis kelamin.

Metta ( cinta kasih ) inilah yang berusaha mematahkan rintangan yang memisahkan yang satu dengan yang lain. Tak ada alasan untuk memisahkan diri dari orang lain, karena berbeda bangsa atau kepercayaan. Dalam salah sebuah prasastinya, Raja Asoka menuliskan : “ Musyawarah adalah yang terbaik, karenanya semua orang seharusnya bersedia mendengarkan ajaran yang dianut orang lain “.

Agama Buddha tidak terbatas pada suatu negara atau bangsa. Agama Buddha bersifat universal. Bagi seorang Buddhis tidak ada orang jauh atau dekat, tak ada musuh atau orang asing, tak ada orang murtad ( pembelot ) atau paria, karena cinta universal yang dihayati melalui pengertian yang benar telah membentuk persaudaraan antara semua makhluk hidup. Seorang Buddhis sejati merupakan seorang warga dunia. Ia memandang seluruh dunia sebagai tanah airnya dan semua orang sebagai saudaranya.

Karena itu, agama Buddha adalah unik, terutama karena toleransinya, tanpa permusuhan, masuk akal, praktis, universal dan mulia karena semua pengaruh – pengaruhnya yang menyatukan.


Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Donasi 200/klik iklan, untuk membantu perkembangan Buddha Dhamma