Jumat, 18 Juni 2010

Kaniska

Setelah Raja Milinda mangkat, dalam sejarah India terdapat satu nama lain yang mempunyai riwayat dan peranan yang sangat menonjol dalam pengembangan agama Buddha. Ia adalah Kaniska yang telah merampungkan pekerjaan yang dimulai oleh Raja Asoka dan membantu pengembangan agama Buddha ke seluruh benua Asia.

Kaniska berasal dari anak suku Kusana, suku Yuechi, penduduk asli dari daerah yang sekarang di kenal sebagai Sinkian ( Cina Barat ). Kepala suku Kusana pertama yang menyerbu dan menduduki wilayah India Utara adalah Kadphises I ( Kujul Kassa ) yang beragama Buddha. Uang logam dari zaman itu yang ditemukan dalam penggalian di Taxila dihiasi dengan tulisan dalam huruf Kharosthi berbunyi : “ Kujul Kassa, Kusana Yavugasa Dharma Thidasa “ yang berarti : “ dari Kusul Kasa, kepala suku dari Kusana, yang telah mantap dalam Dhamma “. Bahwa istilah Dhamma ini diartikan sebagai ajaran Sang Buddha diperjelas lagi dalam tulisan yang terdapat di uang logam lain yang berbunyi : “ Sacca Dhamma Thita “ ( Mantap dalam Dhamma yang benar ).

Dengan latar belakang leluhur yang tersebut di atas, Kaniska memerintah di wilayah India pada tahun – tahun terakhir dari abad ke 1 Masehi. Pemerintahan Kaniska ( 78 – 101 Masehi ) merupakan titik permulaan dari sejarah agama Buddha dan kesusastraan Buddhis yang baru. Zaman ini menjadi saksi mulai berkembangnya agama Buddha Mahayana dan kegiatan Kesusastraan yang gemilang dari Parsva, Asvaghosa, Vasumitra dan lain – lain. Di zaman inilah bahasa Pali harus membuka jalan bagi bahasa Sansekerta. Dalam bidang kesenian, seni pahat dari Gandhara yang terkenal berkembang pesat, patung – patung Buddha dan para Bodhisatva mulai muncul. Di bawah pemerintahan Kaniska dan juga atas campur tangan langsung dari Kaniska agama Buddha Mahayana dengan sukses diperkenalkan di Asia bagian Tengah dan Timur. Secara terus menerus dan berkesinambungan para dhammaduta menjelajahi seluruh pelosok negerinya yang luas, yaitu dari daerah Madhyadesa di India sampai di Asia Tengah. Ketika itu berkembanglah kebudayaan Asia yang terpadu, didasarkan pada tujuan yang luhur dari penghidupan yang benar yang menjadi dasar dari agama Buddha.

Yang menjadi sebab Kaniska memeluk agama Buddha ada persamaannya dengan Raja Asoka. Pada permulaan pemerintahannya, ia sama – sama tidak menaruh hormat kepada agama Buddha. Ia juga tidak percaya pada Hukum Karma dan sering memperlakukan umat Buddha dengan kasar atau dengan mengeluarkan kata – kata yang tidak sopan. Tetapi ketika ia berperang dan menyerbu Kasgar, Yarkand, dan Khutan beribu – ribu manusia terbantai dengan cara yang amat mengerikan. Ia merasa sangat menyesal, lalu ingin mencari ketenangan dengan mempelajari agama Buddha. Bukti tentang pengabdiannya yang sangat besar kepada agama Buddha ialah dengan berhasil diselenggarakannya Sangha Samaya IV di vihara Kundala vana, Kashmir.

Tujuan utama dari Sidang Agung ini adalah untuk menghimpun kembali ajaran Buddha Gautama dan menulis komentar – komentar sesuai dengan pandangan dari kelompok ( sekte ) Sarvastivada. Kaniska memanggil Sidang Agung tersebut atas prakasa seorang bhiksu tua dan terpelajar bernama Parsva. Ketua Sangha Samaya IV dijabat oleh Vasumitra, sedangkan wakil ketua adalah Asvaghosa, yang khusus di undang datang dari Saketa untuk membantu cara penyusunan kalimat dan kata – kata dari komentar yang telah disepakati bersama. Lima ratus orang bhiksu mengambil bagian dalam penyusunan komentar atas Tipitaka dalam bahasa Pali. Buku komentar ini disebut Vibhasa sastras.

Kesimpulan dari hasil sidang Agung ini kemudian ditulis di atas lempengan tembaga dan di simpan di stupa yang khusus dibuat untuk keperluan itu atas perintah dari Raja Kaniska. Setelah Sidang Agung IV selesai bersidang, mengikuti apa yang dilakukan Raja Asoka, Kaniska mempersembahkan kerajaan Kashmir kepada bhikkhu Sangha. Kaniska banyak membangun vihara dan cetiya ; ia juga membangun sebuah kota yang diberi banyak vihara dan cetiya.

Kota yang dibangunnya diberi nama Kaniskapur ( sekarang dikenal sebagai Kanispur di Kashmir ). Selanjutnya Kaniska membangun sebuah tugu besar yang kemudian dikenal sebagai tugu Kaniska. Di sebelah barat dari tugu, ia membangun sebuah vihara besar yang kemudian diberi nama Vihara Kaniska. Tugu dan Vihara tersebut dibangun di Purusapura ( sekarang Peshawar ). Tugu Kaniska merupakan monumen yang luar biasa bagusnya, dengan tinggi 150 kaki. Para peziarah dari negeri cina, yaitu Fa Hien, Sung Yun dan Yuan Chwang sangat kagum melihat keindahan tugu ini dari segi arsitektur. Mahavihara Kaniska yang di sebut di atas merupakan sebuah “ vihara tua “ ketika Yuan Chwang berkunjung ke tempat itu di abad ke 7 M. Lantai atas dari bangunan tersebut satu sama lain dihubungi dengan jalan lintasan dan meskipun bangunan tersebut sudah merupakan reruntuhan namun keindahannya yang luar biasa masih jelas dapat terlihat. Bangunan vihara ini kini masih dihuni oleh beberapa orang bhikkhu dari golongan Theravada. Sejak dibangun vihara ini sudah banyak menghasilkan orang – orang yang luar biasa, yaitu para Arahat dan para sasterawan agung yang dengan sila dan kebijaksanaannya yang sempurna masih jelas terasa pengaruhnya.

Meskipun Kaniska seorang pemeluk agama Buddha yang saleh, namun beliau juga sangat toleran terhadap kepercayaan lain. Ini terbukti dari tulisan dan gambar di atas uang logam yang diedarkan selama pemerintahannya. Ada yang bertuliskan “ Sayamo Bodo “ ( Sakyamuni Buddha ) ; ada juga yang bergambar dewa – dewa yang dipuja oleh masyarakat Yunani ( Helios ), Persia ( Athsho , yaitu Atash ) dan India ( Oesho, yaitu Siva ). Toleransi beragama Raja Kaniska juga dipraktikkan oleh Raja Buddhis yang lain, misalnya Raja Harsa yang memerintah enam abad setelah Raja Kaniska.

Catatan :

Di dalam buku catatan sejarah Srilanka ( Chronicles of Ceylon ) tidak terdapat catatan tentang Sangha Samaya IV yang diadakan di India oleh Raja Kaniska, karena Sidang Agung ini tidak diakui oleh golongan agama Buddha Theravada.

Di buku Mahavamsa dan di Chronicles of Ceylon terdapat catatan bahwa persidangan Sangha yang pertamakali diselenggarakan di Thuparama, Anuradhapura Srilanka diprakarsai oleh raja Devanampiya Tissa ( 247 – 207 SM ). Sidang ini yang diketahui oleh Arittha Thera diadakan dengan tibanya para dhammadutta dari India yang dipimpin oleh Mahinda Thera, anak dari Raja Asoka. Sidang ini dihadiri oleh 60.000 orang bhikkhu dan atas nama permintaan Mahinda Thera seorang bhikkhu keturunan asli Srilanka dan murid dari Mahinda Thera, yaitu Arittha Thera yang membacakan buku Tipitaka.

Sidang berikutnya, yaitu yang kedua diselenggarakan di Srilanka di bawah pemerintahan Raja Vattagamani Abbhaya ( 101 – 77 SM ) oleh golongan Theravada dianggap sebagai Sangha Samaya IV. Di sidang ini seluruh ajaran Buddha Gotama diteliti kembali. Sidang ini berhasil menulis seluruh ajaran Buddha Gotama lengkap dengan komentarnya di daun lontar. Sangha Samaya ini dihadiri oleh lima ratus orang bhikkhu senior dan terpelajar dan dipimpin oleh Rakkita Mahathera dan diselenggarakan di Goa Aloka, Desa Matale, Srilanka.

Sumber :
PAHLAWAN DHAMMADUTA
Disusun oleh Maha Pandita Sasanacariya Sumedha Widyadharma
Diterbitkan oleh Sekolah Tinggi Sangha Dhammacakka, Jakarta
Cetakan Pertama, 1993

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Donasi 200/klik iklan, untuk membantu perkembangan Buddha Dhamma