Rabu, 21 Juli 2010

Kebijaksanaan Dan Welas Asih

Good Questions Good Answers:

Kebijaksanaan Dan Welas Asih

Bersama Ven S. Dhammika

1. Saya sering mendengar umat Buddha berbicara tentang kebijaksanaan dan welas asih. Apakah arti kedua istilah tersebut?


Beberapa agama meyakini welas asih atau cinta kasih (makna kedua istilah ini hampir sama) sebagai kualitas batin yang paling penting, akan tetapi mereka kurang mengembangkan kebijaksanaan. Akibatnya Anda akan menjadi orang tolol yang baik hati, sangat baik, namun kurang bijaksana. Sistem berpikir yang lain, seperti ilmu pengetahuan, percaya bahwa kebijaksanaan dapatr berkembang dengna baik apabila unsur perasaan termasuk welas asih disisihkan. Akibatnya, ilmu pengetahuan cenderung terlena pada pencapaian dan melupakan bahwa akal budi seharusnya untuk melayani manusia, bukannya untuk mengendalikan dan menguasai manusia. Bahkan, para ilmuwan telah menggunakan keahliannya untuk menciptakan senjata yang mematikan, bom kimia, preang kuman, dan sebagainya. Agama sering memandang akal budi dan kebijaksanaan laksana musuh dari perasaan kasih atau iman. Sebaliknya ilmu pengetahuan sering memandang perasaan kasih dan iman laksana musuh dari akal budi dan obyektivitas. Dan, tentu saja, dengan kemajuan ilmu pengetahuan...agama mengalami kemerosotan.

Di lain pihak, agama Buddha mengajarkan bahwa untuk menjadi pribadi yang betul-betul seimbang dan lengkap, Anda harus mengembangkan baik kebijaksanaan maupun kewelasasihan. Karena itdak melulu dogmatis, namun didasarkan pengalaman, agama Buddha tidak perlu gentar menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan.

2. Menurut agama Buddha, apa makna kebijaksanaan?

Kebijaksanaan tertinggi adalah melihat hakekat seluruh fenomena yang bersifat tidak sempurna, tidak kekal, dan tidak adanya inti diri. Pengertian ini merupakan kebebasan total yang membuka jalan ke perlindungan dan kebahagiaan mutlak yang disebut Nibbana. Namun demikian Sang Buddha tidak berbicara terlalu banyak tentang tingkat kebijaksanaan ini. Tidaklah bijaksana kalau kita percaya begitu saja terhadap apa yang dikatakan kepada kita. Kebijaksanaan sejati dicapai dengan melihat langsung dan memahaminya sendiri. Sebelum mencapai tataran tersebut, adalah bijaksana untuk membuka pikiran; mau memandang dari sudut pandang yang lain, alih-alih berkeras pada pendirian; dengan hati-hati menguji fakta-fakta yang bertentangan dengan kepercayaan kita, alih-alih menyembunyikan kepala dalam pasir (seperti burung onta dalam keadaan takut); bersikap obyektif, alih-alih berprasangka atau ikut-ikutan; tidak gegabah dalam membentuk pendapat dan keyakinan, alih-alih menerima begitu saja sesuatu yang disodorkan kepada kita; dan senantiasa siap mengubah keyakinan kita apabila kita menjumpai fakta-fakta yang berlawanan dengan keyakinan sebelumnya.

Seseorang yang bersikap demikian akan senantiasa bijaksana dan akhirnya akan meraih pemahaman sejati. Mempercayai begitu saja apa yang dikatakan kepada Anda adalah hal yang mudah. Namun jalan Buddha membutuhkan keberanian, kesabaran, keluwesan, dan keluasan wawasan berpikir.

3. Saya rasa tidak banyak orang yang dapat melakukannya, Jadi, apa tujuan agama Buddha bila hanya sedikit orang saja yang dapat menjalaninya?

Benar, tidak setiap orang siap menerima agama Buddha. Tetapi sungguh konyol seandainya kita mengajarkan agama yang asal mudah dimengerti, asal mudah dijalankan setiap orang, padahal agama itu tidak mengajarkan hakikat kebenaran sejati sebagaimana adanya.

Agama Buddha membimbinng kita menuju kebenaran sejati, dan apabila tidak setiap orang mampu memahaminya sat ini, amsih ada kesempatan di kehidupan mendatang. Kendati demikian, masih ada sebagian orang, yang mampu meningkatkan pemahamannya. Karena alasan inilah umat Buddha dengan hati-hati berjuang untuk membabarkan wawasan agama Buddha kepada yang lain. Karena welas asih-Nya Sang Buddha membabarkan pengetahuan-Nya kepada kita, dan dengan welas asih kita juga membabarkan ajaran-Nya kepada orang lain.

4. Menurur agama Buddha, apa makna welas asih?

Kalau kebijaksanaan meliputi sisi intelektual atau pemahaman sifat-sifat diri, kewelasasihan meliputi sisi emosional atau perasaan. Seperti halnya kebijaksanaan, welas asih merupakan sifat manusia yang unik. Welas asih memiliki arti "ikut merasakan penderitaan orang lain". Ketika kita melihat seseorang dalam penderitaan, kita merasakan derita mereka seakan kita sendirilah yang mengalaminya, dan ikut berjuang untuk mengurangi atau menghilangkan perasaan menderita tersebut. Inilah yang dimaksud dengan berwelas asih. Sifat manusia yang termulia, sifat keBuddhaan, seperti berbagi rasa, ketulusan dalam menolign, bersimpati, keprihatinan, dan kepedulian semuanya merupakan perwujudan dari rasa welas asih.

Kalau kita perhatikan, dalam hati seseorang yang memiliki rasa welas asih, perhatian dan cinta kasih terhadap orang lain sebenarnya berasal dari rasa perhatian dan cinta kasih terhadap diri sendiri. Kita dapat memahami orang lain apabila kita benar-benar telah memahami diri sendiri. Kita akan tahu apakah yang terbaik bagi orang lain apabila kita tahu apa yang terbai bagi diri sendiri. Kita dapat mengerti perasaan orang lain apabila kita mengerti perasaan diri sendiri. Jadi dalam agama Buddha, perkembangan batin diri sendiri akan terpancara secara alamiah dalam wujud perhatian terhadap kesejahteraan orang lain. Kehidupan Sang Buddha melukiskan hal ini dengan sangat jelas. Beliau melewatkan masa selama enam tahun untu kmemperjuangkan kesejahteraan diri-Nya, barulah kemudian Beliau dapat benar-benar bermanfaat bagi semua makhluk.

5. Menurut Anda, kita benar-benar mampu menolong orang lain setelah kita mampu menolong diri sendiri. Apakah itu tidak berarti mementingkan diri sendiri?

Biasanya kita memandang sifat altruisme (mementingkan orang lain daripada diri sendiri) sebagai kebalikan dari sifat egoisme (mementingkan diri sendiri daripada orang lain). Agama Buddha tidak memandang diri sendiri dan orang lain sebagai dua pihak yang masing-masing berdiri sendrii, melainkan sebagai suatu kesatuan*. Perhatian terhadap diri sendiri secara berangsur-angsur akan tumbuh menjadi perhatian terhadap orang lain, seperti halnya seseorang melihat bahwa orang lain sesungguhnya adalah sama dengan dirinya sendiri. Inilah welas asih sejati, permata terindah dalam mahkota ajaran Buddha.


*Tidak ada pihak yang didahulukan atau dikesampingkan, karena dengan pengertian tertentu pada hakekatnya tidak ada yang disebut "diri sendiri" (self) atau "orang lain" (others). Semuanya masih dalam "proses", sehingga seolah-olah ada dua pihak yang masing-masing berdiri sendiri. Ibarat gula, tepung, mentega, yang masing-masing tampak berdiri sendiri, sebelum menjadi roti.

Sumber : Facebook

Rabu, 30 Juni 2010

Anatta

INTISARI AGAMA BUDDHA
Merupakan karya tulis Ven. Narada Mahathera
dengan judul asli “ Buddhism in Nutshell.”
Penerbit : Yayasan Dhamma Phala, Semarang




A N A T T A

Ajaran agama Buddha tentang tumimbal lahir ini harus dibedakan dari teori reinkarnasi yang menyatakan perpindahan roh dan kelahiran kembali yang tetap. Agama Buddha menolak adanya suatu roh kekal atau yang tidak berubah, yang diciptakan oleh dewa yang maha kuasa atau yang keluar dari zat ilahi ( paramatma ).

Bila roh yang dianggap sebagai inti manusia itu bersifat langgeng, maka tak akan terjadi suatu perkembangan ataupun kemunduran. Di samping itu, orang tidak dapat mengerti mengapa “ Berbagai roh dibentuk berbeda pada mulanya “.

Suatu roh yang kekal memang diperlukan untuk membuktikan adanya kebahagiaan kekal dalam surga yang abadi dan siksaan tanpa akhir dalam neraka abadi. Kalau tidak, lalu apa yang dihukum dalam neraka dan apa yang dinikmati dalam surga ?

Perlu diperhatikan pendapat Bertrand Russel, “ Perbedaan lama antara roh dan tubuh telah usai, karena materi telah kehilangan kepadatannya seperti batin kehilangan spiritualitasnya. Psikologi ( ilmu jiwa ) sudah menjadi ilmiah. Dalam psikologi modern kepercayaan akan kekekalan tidak mendapat suatu dukungan dari ilmu pengetahuan “.

Umat Buddha setuju dengan Bertrand Russell yang menyatakan : “ jelas terdapat beberapa alasan dimana aku sekarang merupakan orang sama dengan aku kemarin ; dan menggunakan contoh yang lebih jelas, bila aku melihat seseorang dan mendengar ia bicara, maka terdapat suatu pengertian dimana “ aku “ yang melihat adalah sama dengan “ aku “ yang mendengar “.

Sampai sekarang para ilmuwan percaya akan suatu atom yang tak dapat dibagi dan tak dapat dihancurkan. “ Untuk alasan – alasan yang memadai, para ahli fisika mereduksi atom menjadi serangkaian gerakan. Untuk alasan yang sama, para ahli ilmu jiwa menemukan bahwa batin tidak memiliki identitas apapun yang tetap selain serangkaian kejadian yang terikat satu sama lain dalam hubungan – hubungan yang erat. Karena itu, pertanyaan kekekalan, berubah menjadi pertanyaan apakah terdapat hubungan antara kejadian – kejadian sewaktu kita masih hidup dan kejadian – kejadian yang terjadi setelah kita mati “.

Seperti yang dikatakan C.E.M Joad di dalam buku The Meaning Of Life , “ Semenjak itu materi hancur di depan mata kita. Materi tidak lagi padat ; tidak lagi ditentukan oleh hukum kausal dan yang paling penting dari semuanya, materi tidak lagi dikenal “.

Nampaknya, apa yang disebut atom itu dapat dibagi dan dihancurkan. Elektron dan proton yang membentuk atom dapat bertabrakkan dan saling menghancurkan selama kelangsungan hidup mereka. Bagaimanapun juga hidup ini lebih menyerupai gelombang yang tak mempunyai batas – batas tetap yang berada dalam proses perubahan terus menerus dalam bentuk dan kedudukannya daripada menyerupai suatu benda yang tetap. Bishop Berkeley mengatakan bahwa apa yang disebut atom ini merupakan fiksi metafisik karena beranggapan bahwa di sana terdapat suatu inti spiritual yang disebut roh.

Hume, misalnya melihat ke dalam kesadaran dan mengerti bahwa tak ada sesuatu apapun kecuali keadaan – keadaan batin yang cepat berlalu dan menyimpulkan bahwa apa yang dianggap “ ego kekal “ itu sesungguhnya tidak ada.

Ia berkata, “ Ada beberapa ahli filsafat yang membayangkan bahwa setiap saat kita sadar akan yang kita sebut “ diri kita “, bahwa kita merasakan adanya dan kelangsungannya dalam hidup, sehingga kita yakin dengan kesempurnaan identitas dan sederhanaannya. Bagiku sendiri, bilamana aku mencoba memasuki keadaan yang paling dalam dari apa yang kusebut “ diriku “ , aku selalu terbentur pada berbagai persepsi tentang ini atau itu : tentang panas atau dingin, terang atau gelap, cinta atau benci, susah atau senang. Aku tak pernah menemukan diriku sendiri… dan tak melihat apapun selain persepsi semata… juga aku tidak mengerti syarat apa lagi yang dapat menjadikan diriku seorang dengan pribadi yang sempurna “.

Bergson menyatakan, “ Seluruh kesadaran merupakan kehidupan baru dan suatu keadaan kesadaran bukanlah suatu keadaan tetap yang tak berubah. Kesadaran adalah suatu perubahan tanpa akhir. Bila perubahan berakhir, kesadaran karena kesadaran itu sendiri adalah perubahan “.

Mengenai pertanyaan tentang roh ini, Prof. James menyatakan : “ Teori roh merupakan suatu kebohongan sempurna, sejauh berkenaan dengan pembuktian fakta – fakta pengalaman kesadaran yang sesungguhnya. Sedemikian jauh, tak seorangpun dapat dipaksa untuk menyetujuinya demi alasan – alasan ilmiah. “ Sebagai kesimpulan tulisannya yang menarik tentang roh, ia berkata : “ Dan dalam buku ini jalan keluar sementara yang telah kita capai harus menjadi kata akhir : Pikiran itu sendiri adalah sang pemikir “.

Watson, seorang ahli ilmu jiwa terkenal, menyatakan : “ Tak seorangpun pernah menyentuh sebuah roh atau pernah melihatnya dalam sebuah tabung – uji atau dengan cara apa pun pernah berhubungan dengannya sebagaimana ia berhubungan dengan obyek – obyek lainnya dalam pengalaman sehari – hari. Namun demikian, meragukan adanya roh sama dengan menjadi orang sesat, atau bahkan kemungkinan besar akan membuatnya kehilangan kepala. Sampai saat ini, orang yang mempunyai kedudukan penting dalam masyarakat sekali pun tidak berani mempersoalkannya “.

Sang Buddha telah mengetahui fakta – fakta ini sekitar 2.500 tahun yang lalu. Menurut agama Buddha, kesadaran tidak lain hanyalah suatu gabungan kompleks batin yang cepat berlalu. Satu unit kesadaran terdiri dari tiga fase : timbul ( Upada ), berkembang ( Thiti ) , dan lenyap ( Bhanga ).

Segera setelah fase – lenyap dari satu saat pikiran berakhir, terjadilah fase – timbul pada saat pikiran berikutnya. Setiap kesadaran dari proses kehidupan yang selalu berubah ini, setelah berlalu, akan memindahkan seluruh tenaganya, seluruh rekaman kesan – kesan yang tak dapat dihapus pada kesadaran penerusnya. Setiap kesadaran baru terdiri kesadaran pendahulunya ditambah kesadaran yang baru. Karena itu, terdapat suatu aliran kesadaran terus menerus seperti arus sungai. Saat pikiran berikutnya tidak persis sama seperti pendahulunya, karena apa yang membentuknya tidak sama ataupun sama sekali berbeda. Ia merupakan kelanjutan tenaga karma yang sama, sehingga terdapat persamaan dalam proses.

Setiap saat terjadi kelahiran, akan terjadi kematian. Timbulnya satu saat pikiran berarti lenyapnya saat pikiran lain dan sebaliknya. Dalam perjalanan satu saat kehidupan terjadi tumimbal – lahir sementara tanpa roh.

Hal tersebut tidak seharusnya dipahami bahwa kesadaran dipotong menjadi bagian – bagian yang dirangkaikan bersama seperti sebuah kereta atau rantai. Tetapi sebaliknya, “ Kesadaran mengalir terus menerus ibarat sebuah sungai, yang terus menerus menerima pertambahan arus dari anak sungai indria dan selalu membagikan kepada dunia pikiran – pikiran yang telah dikumpulkan di sepanjang jalan. Kesadaran memiliki kelahiran sebagai mata airnya dan kematian sebagai muaranya. Arus kesadaran itu berlangsung demikian cepatnya sehingga tak ada ukuran apa pun yang dapat dipergunakan untuk mengukurnya walaupun hanya secara perkiraan. Akan tetapi, para komentator berpendapat bahwa lamanya waktu dari satu gerakan pikiran kira – kira satu perjuta bagian dari waktu yang diperlukan oleh cahaya kilat.

Di sini kita dapatkan suatu penjajaran dari keadaan kesadaran yang begitu cepat berlalu, bertentangan dengan anggapan sebagian orang. Sekali kesadaran telah lenyap, ia tak akan kembali lagi serupa dengan apa yang telah lenyap sebelumnya. Tetapi kita orang duniawi yang diliputi oleh kebodohan, salah mengerti karena apa yang nampaknya tetap ini dianggap sebagai sesuatu yang kekal dan malah menganggap bahwa kesadaran yang selalu berubah ini sebagai suatu roh yang tidak berubah, suatu atta , sebagai pelaku dan wadah dari semua perbuatan.

“ Apa yang disebut makhluk itu adalah misalnya seperti cahaya kilat yang berubah menjadi rangkaian bunga api yang saling susul menyusul dengan kecepatan luar biasa, sehingga mata manusia tidak dapat melihatnya satu persatu. Seperti roda kereta yang terletak diatas tanah pada satu titik, demikian pula makhluk – makhluk hanya hidup selama satu saat pikiran. Kehidupan selalu berada dalam saat sekarang dan selalu tenggelam kedalam masa lalu yang tak dapat terulang kembali. Keadaan kita dimasa yang akan datang ditentukan oleh saat pikiran sekarang ini “.

Orang mungkin akan bertanya : “ Bila tak ada roh kekal, apakah yang dilahirkan kembali ? “. Ya, sebenarnya tak ada sesuatu yang dilahirkan kembali. Bila kehidupan berakhir, tenaga kamma mewujudkan dirinya kembali dalam bentuk lain. Seperti yang dinyatakan oleh Bhikkhu Silacara : “ Dengan tak terlihat ia pergi kemana terdapat kondisi – kondisi yang sesuai bagi perwujudannya kembali. Disini ia memperlihatkan dirinya sebagai semut kecil atau cacing, disana ia memunculkan dirinya dalam bentuk kehidupan dewa atau pemimpin dewa yang mulia dan agung. Bila satu bentuk perwujudannya berakhir, segera ia pergi dimana terdapat kondisi yang sesuai, di sana ia menampakkan dirinya lagi dalam nama dan rupa yang lain “.

Kelahiran berarti timbulnya fenomena psiko – fisik. Kematian hanya merupakan akhir sementara dari fenomena psiko – fisik yang tidak langgeng ini.

Sama seperti timbulnya suatu keadaan yang disyarati oleh keadaan sebelumnya sebagai sebabnya, begitu pula munculnya fenomena psiko – fisik disyarati oleh sebab – sebab sebelum kelahirannya. Seperti proses satu jangka kehidupan adalah mungkin tanpa suatu inti kekal yang berlalu dari satu saat pikiran ke saat pikiran yang lainnya, begitu pula satu rangkaian proses kehidupan juga mungkin tanpa suatu roh kekal yang berpindah dari satu kehidupan ke lain kehidupan.

Agama Buddha tidak menolak sama sekali adanya sesuatu kepribadian dalam suatu pengertian empiris. Agama Buddha hanya bermaksud menunjukkan bahwa roh kekal tidak ada dalam suatu pengertian mutlak. Istilah filsafat Buddhis bagi seorang individu adalah Santana , yaitu arus atau kelangsungan, yang mencakup unsur – unsur rohani dan jasmani. Kekuatan kamma masing – masing individu merupakan unsur – unsur batin dan jasmani. Arus atau kelangsungan fenomena psiko –fisik yang tak terputus – putus ini disyarati oleh kamma dan tidak terbatas hanya pada kehidupan sekarang, tetapi memiliki sumbernya pada masa lampau tanpa awal serta kelangsungan pada masa yang akan datang.


Sumber :

Selasa, 29 Juni 2010

Nibbana

INTISARI AGAMA BUDDHA
Merupakan karya tulis Ven. Narada Mahathera
dengan judul asli “ Buddhism in Nutshell.”
Penerbit : Yayasan Dhamma Phala, Semarang



N I B B A N A

Proses kelahiran dan kematian ini berlangsung terus tanpa berhenti sampai arus ini dibelokkan ke Nibbanadhatu , tujuan akhir umat Buddha. Istilah Pali “ nibbana “ berasal dari kata ni dan vana. Ni merupakan partikel negatif, sedang vana berarti nafsu atau keinginan. “ Disebut nibbana, karena terbebas dari nafsu yang disebut vana, keinginan “. Secara harfiah, nibbana berarti terbebas dari kemelekatan.

Nibbana dapat juga diartikan sebagai padamnya keserakahan, kebencian dan kebodohan. Sang Buddha bersabda : “ Seluruh dunia terbakar. Terbakar oleh apa ? Terbakar oleh api keserakahan, kebencian dan kebodohan ; oleh api kelahiran, usia tua, kematian, kesakitan, duka cita, ratap tangis, kesedihan dan keluh kesah “.

Nibbana jangan ditafsirkan sebagai suatu kekosongan atau kemusnahan karena kita tidak dapat memahaminya dengan pengertian duniawi kita. Misalnya seseorang tidak dapat mengatakan bahwa tak ada cahaya, karena orang buta tak dapat melihatnya. Juga seperti dalam sebuah cerita yang terkenal tentang seekor ikan yang berdebat dengan sahabatnya seekor penyu, yang dengan bangga menyatakan bahwa tidak ada daratan.

Dalam agama Buddha, Nibbana bukan suatu kekosongan atau keadaan hampa melainkan suatu keadaan yang tidak dapat diungkapkan dengan kata – kata secara tepat. Nibbana adalah sesuatu yang “ tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak tercipta “. Karenanya, Nibbana bersifat kekal ( dhuva ), damai ( santi ), dan bahagia ( sukha ).

Dalam Nibbana tidak ada sesuatu yang “ diabadikan “ atau “ dimusnahkan “.

Menurut kitab – kitab suci, terdapat dua macam Nibbana, yaitu Sa – upadisesa – nibbana dan Anupadisesa – nibbana. Sesungguhnya ini bukan dua macam Nibbana, karena hanya ada satu Nibbana. Perbedaan namanya sesuai dengan cara dicapainya, yaitu sebelum atau sesudah kematian.

Nibbana bukan suatu tempat ataupun semacam surga dimana roh kekal berada. Nibbana adalah suatu keadaan yang bergantung pada diri kita sendiri. Nibbana merupakan suatu pencapaian ( Dhamma ) yang berada dalam jangkauan semua orang. Nibbana merupakan suatu keadaan di atas keduniawian ( lokuttara ) yang dapat dicapai dalam kehidupan sekarang ini juga. Agama Buddha tidak mengajarkan bahwa tujuan akhir ini hanya dapat dicapai dalam kehidupan di alam lain. Di sinilah terletak perbedaan pokok antara konsep Buddhis tentang Nibbana dan konsep non – Buddhis tentang surga kekal yang hanya dapat dicapai setelah kematian atau bersatu dengan Tuhan atau Zat Agung pada kehidupan setelah mati. Apabila Nibbana dicapai dalam kehidupan sekarang ini, sewaktu masih hidup, itu disebut Sa – upadisesa Nibbanadhatu. Bila seorang Arahat wafat, setelah kehancuran tubuhnya, tanpa adanya sisa kehidupan fisik, itu disebut Anupadisesa Nibbanadhatu. Dari sudut pandangan metafisik, Nibbana merupakan kebebasan dari penderitaan. Dari sudut pandangan psikologis, Nibbana adalah penghancuran egoisme. Dari sudut pandangan etika, Nibbana adalah penghancuran keserakahan, kebencian dan kebodohan.

Apakah setelah wafat seorang Arahat tetap ada atau tidak ? Sang Buddha menjawab : “ Arahat yang telah bebas dari lima kelompok kehidupan ( khanda ) itu sungguh dalam, tak dapat diukur seperti lautan samudra. Menyatakan bahwa ia akan dilahirkan kembali adalah tidak sesuai. Menyatakan bahwa ia tidak dilahirkan kembali atau pun bukan tidak dilahirkan kembali juga tidak benar “.

Orang tidak dapat mengatakan seorang Arahat tidak dilahirkan kembali karena semua nafsu keinginan yang mensyarati tumimbal lahir telah dihancurkan ; juga orang tidak dapat mengatakan Arahat itu musnah karena tak ada sesuatu yang dimusnahkan.

Robert Oppenheimer, seorang ahli fisika, menyatakan :

“ Misalnya, apabila kita bertanya, apakah kedudukan elektron tetap sama, kita harus menjawab “ tidak “. Apabila kita bertanya apakah kedudukan elektron berubah beberapa waktu kemudian, kita harus menjawab “ tidak “. Bila kita bertanya apakah electron bergerak, kita juga harus menjawab “ tidak “.

Sang Buddha telah memberikan jawaban yang sama sewaktu ditanya mengenai kondisi – kondisi seorang Arahat setelah wafatnya.

JALAN KE NIBBANA

Bagaimana caranya untuk mencapai Nibbana ? Dengan melaksanakan Delapan Faktor Jalan Utama , yaitu : Pengertian benar ( samma – ditthi ), Pikiran benar ( samma – sankappa ), Ucapan benar ( samma – vaca ), Perbuatan benar ( samma – kammanta ), Penghidupan benar ( samma – ajiva ), Usaha benar ( samma – vayama ), Perhatian benar ( samma - sati ), Konsentrasi benar ( samma – samadhi ).

Pengertian benar yang merupakan kunci utama agama Buddha, mencakup pengetahuan tentang Empat Kebenaran Mulia . Mengerti dengan benar berarti memahami segala sesuatu sebagaimana adanya, bukan sebagaimana nampaknya. Pada pokoknya ini menyatakan pengertian benar terhadap diri sendiri, karena seperti tertulis di dalam Rohitassa Sutta : “ Empat Kebenaran Mulia tergantung pada tubuh ini yang panjangnya dua depa beserta kesadarannya “. Dalam melaksanakan Delapan Faktor Jalan Utama , Pengertian Benar berada pada permulaan serta pada akhirnya. Tingkat minimal Pengertian Benar amat diperlukan pada permulaan karena hal itu memberi motivasi serta arah yang benar kepada tujuh faktor Jalan Utama lainnya. Pada tingkat akhir pelaksanaan pengertian benar masak menjadi kebijaksanaan pandangan terang sempurna ( vipassana panna ), yang langsung membawa kepada tingkat – tingkat kesucian.

Pengertian benar mengakibatkan pemikiran benar . Karena itu, faktor kedua dari jalan utama ini ( Samma – sankkappa ), mempunyai dua tujuan : melenyapkan pikiran – pikiran jahat dan mengembangkan pikiran – pikiran baik. Dalam hubungan ini, pikiran benar terdiri dari tiga bagian, yaitu :

• Nekkhamma ; melepaskan diri dari kesenangan dunia dan sifat mementingkan diri sendiri yang berlawanan dengan kemelekatan, sifat mau menang sendiri.

b. Abyapada ; cinta kasih, itikad baik, atau kelemah – lembutan yang berlawanan dengan kebencian, itikad jahat, atau kemarahan.

c. Avihimsa ; tidak kejam atau kasih sayang, yang berlawanan dengan kekejaman atau kebengisan.



Pikiran benar menimbulkan ucapan benar , faktor ketiga. Ucapan benar mencakup perbuatan untuk menahan diri dari berbohong, memfitnah, berkata kasar dan bicara yang tidak berguna.

Ucapan benar harus diikuti dengan perbuatan benar , yang meliputi perbuatan menahan diri dari pembunuhan makhluk – makhluk hidup, pencurian dan perbuatan – perbuatan kelamin yang salah.

Dengan membersihkan pikiran, ucapan dan perbuatan pada tingkat awal, musafir spiritual berusaha memperbaiki penghidupannya dengan cara menahan diri dari lima macam perdagangan yang terlarang bagi seorang umat Buddha, yaitu : memperdagangkan senjata, manusia, binatang – binatang untuk dibunuh, minuman keras, obat bius dan racun.

Bagi para Bhikkhu, penghidupan salah meliputi perbuatan – perbuatan munafik dan cara – cara yang tidak dibenarkan untuk memperoleh kebutuhan – kebutuhan hidup seorang Bhikkhu.

Usaha benar , terdiri atas empat macam kegiatan yaitu : usaha melenyapkan kejahatan yang telah timbul, usaha mencegah timbulnya kejahatan yang belum timbul, usaha membangkitkan kebajikan yang belum timbul dan usaha mengembangkan kebajikan yang telah timbul.

Perhatian benar , adalah kesadaran yang terus menerus terhadap jasmani, perasaan – perasaan, pikiran – pikiran, serta obyek – obyek batin. Usaha benar dan perhatian benar menimbulkan konsentrasi benar , yaitu manunggalnya pikiran pada satu obyek yang luhur, yang memuncak dalam Jhana.

Dari kedelapan faktor Jalan Utama ini, dua yang pertama dikelompokkan ke dalam bagian kebijaksanaan ( panna ), tiga yang selanjutnya ke dalam bagian moral ( sila ), dan tiga yang terakhir ke dalam bagian konsentrasi ( samadhi ). Tetapi menurut urutan perkembangannya, rangkaian itu adalah sebagai berikut : Sila, Samadhi dan panna .

Moral ( sila ) merupakan tingkatan pertama pada jalan yang menuju ke Nibbana ini. Dengan tidak membunuh atau melukai makhluk – makhluk hidup apapun, orang akan memiliki rasa belas kasihan dan cinta kasih terhadap semua makhluk, kepada makhluk yang paling kecil sekalipun yang merayap di bawah kakinya. Dengan menahan diri dari mencuri, ia akan berlaku jujur dalam semua usahanya. Dengan menahan diri dari persetubuhan yang tidak benar yang akan merendahkan derajat manusia, ia akan berlaku saleh. Dengan menahan diri dari ucapan salah, ia akan berbicara benar. Dengan menghindari minuman keras yang mengakibatkan kelalaian, ia akan waspada dan rajin.

Azas – azas dasar kelakuan bermoral ini amat penting bagi seseorang yang melangkahkan kakinya menuju ke Nibbana. Melanggar hal – hal tersebut di atas berarti menciptakan rintangan pada kemajuan batinnya sendiri. Pelaksanaan hal – hal tersebut berarti kemajuan yang mantap dan lancar sepanjang jalan itu.

Dengan mendisiplinkan ucapan – ucapan dan perbuatan – perbuatannya seorang musafir spiritual akan maju lebih jauh.

Sewaktu ia maju dengan lambat tapi mantap dengan mendisiplinkan segala ucapan dan tingkah lakunya, serta mengendalikan indria – indrianya, kekuatan kamma dari siswa yang sedang berjuang ini mungkin akan mendorongnya untuk melepaskan kesenangan – kesenangan duniawi dan menempuh kehidupan sebagai bhikkhu. Kemudian dalam dirinya muncul pengertian bahwa :

“ Kehidupan rumah tangga merupakan medan perjuangan. Penuh dengan kerja keras dan kebutuhan ; Tetapi menjalani kehidupan tanpa berumah tangga adalah bebas seperti udara terbuka “.

Namun demikian jangan salah tafsir bahwa setiap orang harus menjadi bhikkhu atau hidup membujang untuk mencapai tujuan akhir. Kemajuan spiritual seseorang dipercepat dengan menjadi bhikkhu, walaupun sebagai umat awam ia dapat juga mencapai tingkat Arahat. Setelah mencapai tingkat kesucian ketiga, yaitu Anagami, seseorang menempuh hidup membujang. Setelah memperoleh pijakan teguh di atas fondasi moralitas, kemudian musafir spiritual yang telah memperoleh kemajuan tersebut mulai pelaksanaan yang lebih tinggi, yaitu pengendalian dan pengembangan batin ( Samadhi ), tingkat kedua pada jalan ini.

Samadhi adalah pemusatan pikiran pada satu proyek dengan mengesampingkan semua persoalan yang tidak perlu.

Terdapat berbagai macam obyek meditasi sesuai dengan watak masing – masing individu. Pemusatan pikiran pada pernafasan merupakan cara termudah untuk mencapai Samadhi. Meditasi pada cinta kasih amat berguna karena hal itu mengakibatkan kedamaian dan kebahagiaan batin.

Pengembangan empat keadaan batin luhur : cinta kasih ( Metta ), belas kasihan ( Karuna ), kegembiraan bersimpati ( Mudita ), dan keseimbangan batin ( Upekkha ) amat dipuji oleh para bijaksana.

Setelah mempertimbangkan dengan hati – hati obyek – obyek meditasi, ia harus memilih salah satu obyek yang paling cocok dengan wataknya. Setelah dapat memutuskan obyek yang akan dipilih, ia melakukan usaha terus menerus untuk memusatkan pikirannya sampai ia benar – benar tenggelam dan masuk ke dalamnya, sehingga semua bentuk pikiran lainnya tidak dapat menerobos ke dalam batinnya. Lima rintangan bagi kemajuan batin adalah : Keinginan indria, kebencian, kemalasan dan kelambanan, kegelisahan, kekhawatiran dan keragu – raguan.

Akhirnya ia mencapai pemusatan pikiran dan dengan kegembiraan yang tak dapat diterangkan, ia terserap dalam Jhana , menikmati ketenangan dan kedamaian penunggalan pikiran.

Bilamana seseorang telah mencapai keadaan penunggalan pikiran ini, adalah mungkin baginya untuk mengembangkan lima kemampuan batin luar biasa ( abhinna ), yaitu : mata – dewa ( Dibbacakkhu ), telinga – dewa ( Dibbasota ), ingatan akan kelahiran – kelahiran lampau ( Pubbenivasanussati – nana ), membaca – pikiran ( Paracitta vijanana ), dan berbagai macam kemampuan – kemampuan batin lainnya ( Iddhividha ). Namun harus diingat bahwa kekuatan – kekuatan batin luar biasa ini tidak mutlak bagi pencapaian tingkat kesucian.

Walaupun sekarang pikiran telah bersih, tetapi masih ada kecenderungan – kecenderungan yang terpendam dalam batin. Karena dengan Samadhi nafsu – nafsu hanya tertidur untuk sementara. Kekotoran – kekotoran batin itu dapat muncul pada saat – saat yang tak terduga.

Baik Sila maupun Samadhi amat berguna untuk membersihkan jalan dari rintangan – rintangan, tetapi hanya pandangan terang sajalah yang memungkinkan seseorang melihat segala sesuatu sebagaimana adanya untuk akhirnya mencapai tujuan akhir dengan penghancuran nafsu – nafsu oleh Samadhi. Inilah tingkat ketiga dan terakhir dari Sang Jalan yang menuju ke Nibbana.

Dengan batin yang telah terpusat, yang sekarang menyerupai sebuah kaca yang telah digosok, ia melihat ke dunia untuk mendapatkan pandangan benar tentang hidup. Kemanapun ia mengalihkan pandangannya, ia tidak melihat apapun selain Tiga Corak Umum kehidupan, yaitu : Anicca ( ketidak – kekalan ), Dukkha ( penderitaan ), dan Anatta ( tanpa pribadi kekal ), yang merupakan gambar timbul yang tegas. Ia memahami bahwa kehidupan selalu berubah dan semua yang bersyarat itu tidak kekal adanya. Baik di surga ataupun di dunia ia tidak akan mendapatkan kebahagiaan sejati, karena setiap bentuk kesenangan hanyalah merupakan pendahulu bagi penderitaan. Karena itu, apa yang tidak kekal adalah tidak memuaskan dan di mana terdapat perubahan dan kesedihan, di sana tidak dapat ditemui adanya sesuatu yang kekal abadi.

Kemudian, diantara ketiga corak umum ini, ia memilih salah satu yang paling menarik baginya dan dengan tekun terus mengembangkan Pandangan Terang dalam jurusan yang telah dipilihnya, sampai saat – saat yang membahagiakan tiba kepadanya ketika ia dapat memahami Nibbana untuk pertama kali dalam hidupnya, setelah menghancurkan tiga belenggu : pandangan salah tentang aku ( Sakkaya ditthi ), keragu – raguan ( Vicikiccha ), serta kepercayaan bahwa upacara dan doa dapat membebaskan manusia dari penderitaan ( Silabbata – paramasa ).

Pada tingkat ini ia disebut seorang Sotapanna ( Pemenang – arus ), seorang yang telah memasuki arus yang akan membawanya ke Nibbana. Karena ia masih belum menghancurkan semua belenggu, maka paling banyak ia hanya akan dilahirkan kembali tujuh kali. Dengan mengumpulkan semangat baru sebagai akibat pandangan sekilas terhadap Nibbana, ia memperoleh kemajuan pesat dan mengembangkan Pandangan Terang yang lebih dalam sehingga mencapai tingkat kesucian kedua, Sakadagami ( hanya kembali sekali ) dengan melemahkan dua belenggu lagi, yaitu : keinginan indria ( kamaraga ) dan itikad jahat ( patigha ). Ia disebut sakadagami karena ia hanya akan dilahirkan sekali lagi seandainya ia masih belum mencapai tingkat kesucian terakhir, Arahat .

Pada tingkat kesucian tertinggi inilah, Anagami ( tak pernah kembali ), ia dapat menghancurkan dua belenggu yang telah disebutkan diatas. Setelah itu, ia tidak akan kembali ke dunia ini atau ke alam dewa, karena ia tidak memiliki kesenangan – kesenangan indria lagi. Setelah meninggal dunia, ia terlahir kembali dalam “ Alam Murni “ ( Suddhavasa ) , suatu alam brahma yang menyenangkan.

Sekarang dengan dorongan keberhasilan usahanya yang belum pernah terjadi sebelumnya, maka ia mengusahakan kemajuannya yang paling akhir dan menghancurkan seluruh sisa belenggu batin, yaitu : keinginan akan kelahiran kembali dalam alam – alam bentuk ( rupa – raga ) dan alam – alam tak berbentuk ( arupa – raga ), kesombongan ( mana ), kegelisahan ( unddhacca ), kebodohan ( avijja ), dan menjadi seorang suci yang sempurna – Arahat.

Dengan segera ia menyadari bahwa apa yang harus dikerjakan telah dikerjakan, beban berat penderitaan telah diletakkan, semua bentuk kemelekatan telah dihancurkan, dan jalan ke Nibbana telah ditempuh. Beliau Yang Mulia sekarang berdiri di atas ketinggian yang melebihi surga kediaman para dewa, jauh dari gejolak – gejolak nafsu dan kekotoran dunia, menikmati kebahagiaan Nibbana yang tak dapat diungkapkan dengan kata – kata.


sumber :

Intisari VI

INTISARI AGAMA BUDDHA
Merupakan karya tulis Ven. Narada Mahathera
dengan judul asli “ Buddhism in Nutshell.”
Penerbit : Yayasan Dhamma Phala, Semarang



SANG BUDDHA

Berdasarkan Tipitaka sebelum beliau lahir ke dunia ini. Beliau terlah terlahir berulang kali untuk menyempurnakan Paramithanya selama 4 Asakhayakappa dan 100.000 kappa. Terakhir beliau lahir sebagai Vessantara dan akhirnya menjadi Raja Vessantara dan Beliau mengabdikan waktu, tenaga, pikiran dan kekayaannya demi untuk kepentingan Nusa dan Bangsa dengan mengembangkan Dana Paramitha. Setelah Beliau wafat karena kekuatan kebajikannya. Itulah mendorong Beliau terlahir di Surga Tusita yang lamanya - + 576 juta tahun.

Deva Vessantara hidupnya penuh dengan kebahagiaan dan kecerahan batin di Surga Tusita dan sangat lama sekali. Ketika waktu dan kondisi telah memungkinkan. Para Deva Brahma dan Deva memohon, Beliau untuk lahir ke dunia untuk menjadi Buddha.

Pada saat bulan purnama di bulan Wesak 623 tahun sebelum masehi, di taman Lumbini dekat perbatasan Nepal, lahirlah putra dari Raja Suddhodana dari suku Sakya yang diberi nama Siddhattha Gotama.

Pangeran dibesarkan dalam kemewahan dan mendapat pendidikan tinggi sesuai dengan kedudukan seorang putra raja. Sebagaimana lazimnya pada zaman itu, dalam usia enam belas tahun ia dinikahkan dengan Putri Yosodhara dan memperoleh seorang putra yang diberi nama Rahula. Ketika Pangeran mencapai usia dua puluh sembilan tahun, cahaya kebenaran mulai menyinari batinnya. Pribadinya yang penuh cinta kasih tidak menyenangi kehidupan mewah dalam istana. Ia sendiri tak pernah mengenal kesusahan, tetapi ia memiliki rasa belas kasihan yang dalam terhadap penderitaan orang lain. Istana megah dengan segala kemewahan materi tidak dapat menyenangkan hati dan pikiran Pangeran yang berwatak welas asih itu. Ia menyadari bahwa semua makhluk di dunia tanpa kecuali harus tunduk pada hukum kelahiran, kelapukan dan kematian. Kesenangan duniawi hanya merupakan awal dari kesakitan dan kesedihan.

Setelah mengerti dengan baik bahwa penderitaan dan kesedihan merupakan kejadian yang jamak di alam kehidupan manusia, maka ia ingin memperoleh penawar yang dapat menyembuhkan penyakit umum ini yang menghinggapi semua makhluk. Untuk mencapai cita – cita tersebut ia melepaskan diri dari segala kesenangan duniawi. Hanya dengan mengenakan jubah kuning sederhana seorang pertapa, tanpa bekal apapun dan seorang diri, ia meninggalkan keluarga dan berkelana mencari kebenaran dan kedamaian.

Ini merupakan suatu sikap “ pelepasan “ yang tak pernah terjadi di dunia sebelumnya. Seorang dalam masa jaya, kaya raya, rela melepaskan kedudukannya yang mulia. Hal ini bukan karena putus asa, kesukaran atau dipaksa oleh keadaan, melainkan atas kesadaran sendiri. Menurut kepercayaan pada waktu itu, kebebasan tidak akan dapat dicapai kecuali jika seseorang menempuh jalan kehidupan sebagai pertapa. Maka dengan penuh semangat Pangeran Siddattha mulai melakukan penyiksaan diri. Ia berpuasa siang malam, tidak makan, tidak tidur, bermeditasi terus serta menjalani berbagai bentuk penyiksaan diri secara silih berganti. Ia menjalankan semuanya itu dengan kekuatan melebihi manusia biasa selama enam tahun.

Tubuhnya menjadi kurus kering hingga menyerupai sebuah kerangka. Semakin keras ia menyiksa badan jasmaninya, semakin jauh ia dari tujuan akhirnya. Praktek – praktek penyiksaan diri yang ia jalankan itu terbukti sia – sia.

Mulai pengalaman yang pahit ini, ia sadar akan sia – sianya praktek penyiksaan diri yang menjadikan tubuh dan semangat lemah.

Setelah memperoleh pelajaran dari pengalaman yang amat berharga ini, akhirnya ia memutuskan untuk memilih jalannya sendiri dengan menghindari dua praktek ekstrim, yaitu pemuasan nafsu – nafsu indria dan penyiksaan diri secara berlebihan. Pemuasan nafsu – nafsu indria akan menghalangi perkembangan batin manusia dan penyiksaan diri akan melemahkan kesadaran. Jalan baru yang ia temukan itu dinamakan Jalan Tengah ( Majjhima Patipada ), yang kemudian menjadi salah satu corak utama ajaran-Nya.

Pada suatu hari yang cerah, sewaktu khusyuk dalam meditasi di bawah pohon Bodhi, tanpa memperoleh bantuan atau bimbingan dari suatu kekuatan apapun, Ia berhasil menghancurkan semua kekotoran batin-Nya. Dan dengan memahami segala sesuatu ( fenomena alam semesta ) sebagaimana apa adanya, menembus 4 Kesunyataan Mulia dengan jelas dan terang.

• Pikiran Yang terarah keluar melalui ke 6 Indra merupakan penyebab timbulnya dari semua macam nafsu keinginan. Yang merupakan sumbernya penderitaan ( Dukkha Samudaya Ariya Sacca ).

• Karena sebabnya telah ada, timbullah penderitaan pada saat itu juga ( kebingungan, kekhawatiran, ketakutan, kegelisahan, frustasi dan strees dll ) ( Dukkha Ariya Sacca )

• Pikiran melihat pikiran. Disinilah jalannya untuk melenyapkan semua penderitaan, karena kita sadar yang menderita adalah pikiran kita sendiri. ( Magga Ariya Sacca : Sila, Samadhi dan Panna ).

• Pikiran melihat pikiran dengan jelas dan terang, lalu menyatu masuk ke dalam Inti Sang Batin. Disinilah padamnya penderitaan ( Nirodha Ariya Sacca ). Saat inilah Beliau mencapai Penerangan Sempurna ( tingkat kebuddhaan ).

Ia mencapai Penerangan Sempurna ( tingkat kebuddhaan ) pada usia tiga puluh lima tahun. Beliau tidak dilahirkan sebagai seorang Buddha, tetapi Beliau menjadi seorang Buddha melalui usaha sendiri. Sisa hidup-Nya dibaktikan untuk menolong umat manusia dengan membabarkan ajaran – ajaran-Nya, serta memberi contoh tauladan yang tanpa noda.

Setelah berhasil menyebarluaskan ajaran-Nya selama empat puluh lima tahun, Sang Buddha, seperti juga manusia lain harus tunduk pada hukum perubahan ( anicca ) yang mutlak, yang tak dapat dihindari. Akhirnya Beliau wafat ( parinibbana ) pada usia delapan puluh tahun, dengan meninggalkan pesan agar para siswa-Nya memandang ajaran Beliau sebagai guru mereka.

Sang Buddha adalah seorang manusia, terlahir sebagai manusia, hidup sebagai manusia dan sebagai manusia pula hidup-Nya berakhir. Walaupun sebagai seorang manusia luar biasa ( acchariya manussa ), namun Beliau tak pernah menyombongkan diri dengan menyatakan bahwa diri-Nya seorang “ dewa “. Sang Buddha amat menekankan hal ini agar orang – orang tidak salah menganggap Beliau sebagai dewa yang tak dapat mati.

Sang Buddha bukan merupakan penjelmaan Dewa Wisnu seperti yang dinyatakan oleh sebagian orang, ataupun seorang juru selamat yang memberikan keselamatan pada orang – orang lain melalui diri-Nya. Beliau menasehati agar para pengikut-Nya bergantung kepada diri sendiri dalam usaha mencapai kebebasan, karena suci atau tidak suci seseorang tergantung pada diri sendiri. Menjelaskan hubungan-Nya dengan para siswa-Nya serta untuk menekankan pentingnya sikap bergantung kepada diri sendiri dan perjuangan pribadi, Sang Buddha menyatakan :

“ Engkau sendirilah yang harus berusaha, Sang Tathagata hanya penunjuk jalan. “ ( Dhammapada 276 )

Para Buddha hanya menunjukkan jalan, selanjutnya terserah kepada kita untuk mengikuti jalan tersebut dalam usaha memperoleh keselamatan. Berhasil atau tidak itu tergantung pada usaha diri sendiri.

Bersandar pada orang lain untuk memperoleh keselamatan menandakan sifat yang lemah, sedangkan mengandalkan pada usaha sendiri menandakan sifat yang kuat. Bergantung pada orang lain berarti melepaskan diri dari usaha dan tanggung jawab. Ketika menasehati para siswa-Nya untuk bergantung pada diri sendiri, Sang Buddha dalam kitab Maha Parinibbana Sutta menyatakan :

“ Jadilah pulau bagi dirimu sendiri, jadilah perlindungan bagi dirimua sendiri ; janganlah mencari perlindungan di luar dirimu sendiri “.

Hal ini menyatakan betapa pentingnya usaha diri sendiri untuk mencapai suati tujuan dan betapa sia – sianya mencari keselamatan melalui para “ Juru Selamat “ atau mengharapkan kebahagiaan dengan mengucapkan doa – doa pada dewa – dewa.

Sang Buddha sendiri tidak pernah menyatakan monopoli atas kebuddhaan-Nya, karena sesungguhnya itu bukanlah suatu kedudukan yang hanya dapat dicapai oleh beberapa orang tertentu saja. Beliau mencapai tingkat kesempurnaan terluhur, yang juga dapat dicapai oleh semua orang. Tanpa berlaku sebagai seorang guru yang biasanya merahasiakan sesuatu, Beliau menunjukkan jalan satu – satunya yang terbaik untuk menuju ke arah itu. Menurut ajaran Sang Buddha, setiap orang dapat mencapai tingkat kesempurnaan jika ia mau berusaha. Sang Buddha tidak mencela manusia dengan menyebut mereka orang – orang berdosa ; sebaliknya, Beliau menggembirakan hati mereka dengan menyatakan bahwa pada dasarnya pikiran manusia itu bersih. Menurut pandangan Beliau dunia ini tidak jahat, tetapi digelapi oleh kebodohan. Hal tersebut tidak membuat kecil hati para pengikut-Nya dan tidak memonopoli tingkat kesempurnaan bagi diri-Nya sendiri, Beliau mengajarkan dan mendorong mereka untuk mencapai apa yang telah Beliau capai, karena tingkat kebuddhaan ada dalam diri semua orang. Secara singkat, semua orang memiliki potensi untuk menjadi Buddha.

Orang yang bercita – cita untuk menjadi seorang Buddha disebut Bodhisatta, yang secara harfiah berarti makhluk bijaksana. Cita – cita Bodhisatta ini merupakan cara hidup yang paling indah dan mulia yang pernah dipersembahkan kepada dunia yang bersifat mementingkan diri sendiri ini ; karena apakah yang lebih mulia daripada hidup dalam pengabdian dan kesucian ?

Sebagai manusia, Sang Buddha mencapai tingkat kebuddhaan dan menyatakan kepada dunia tentang kemungkinan – kemungkinan yang dapat dicapai oleh tenaga kreatif manusia yang bersifat tersembunyi. Beliau meninggikan harkat dan martabat manusia dengan menerangkan bahwa manusia dapat membebaskan dan menyucikan dirinya melalui usahanya sendiri tanpa bersandar pada suatu kekuatan diluar dirinya. Beliau mengajar kepada dunia yang bersifat mementingkan diri sendiri dengan pengabdian mulia tanpa pamrih. Beliau menentang sistem kasta yang merendahkan derajat manusia serta menyatakan bahwa semua makhluk sama kedudukannya. Semua makhluk mempunyai kesempatan yang sama untuk memuliakan diri dalam hidupnya.

Beliau menyatakan bahwa pintu keberhasilan dan kesejahteraan terbuka bagi semua orang dalam segala kondisi kehidupan : tinggi atau rendah, suci atau jahat, mereka yang bermaksud membuka lembaran baru dalam hidupnya dan bertujuan mencapai tingkat kesempurnaan. Tanpa membedakan kasta, warna kulit atau kedudukan, Beliau membentuk persaudaraan hidup suci ( Sangha ) yang tertib dan demokratis bagi pria dan wanita. Beliau tidak memaksa para pengikut-Nya untuk menjadi budak, baik terhadap ajaran – ajaran maupun terhadap pribadi Beliau, tetapi memberikan kebebasan berpikir sepenuhnya. Beliau memberi semangat dan harapan kepada mereka yang sengsara dengan kata – kata yang penuh welas asih. Beliau merawat mereka yang sakit dan hidupnya terlantar ; menolong kaum miskin yang disia – siakan ; meluruskan jalan hidup mereka yang sesat, korupsi dan jahat. Beliau memberi semangat untuk mereka yang lemah dan putus asa ; mempersatukan mereka yang bercerai ; menerangi batin mereka yang gelap ; membersihkan pengaruh – pengaruh mistik yang jahat, mengangkat orang – orang yang hina dan papa, serta memuliakan orang – orang bangsawan, raja – raja lalim dan bajik ; pangeran – pangeran yang termasyhur ; jutawan – jutawan yang murah hati dan kikir ; ilmuwan – ilmuwan yang sombong dan rendah hati ; kaum jembel yang papa ; golongan masyarakat yang tertindas ; pembunuh – pembunuh kejam ; serta pelacur – pelacur yang hina. Semuanya memperoleh manfaat dari sabda – sabda Sang Buddha yang bijaksana dan penuh welas asih.

Contoh tauladan Sang Buddha merupakan sumber inspirasi bagi semua orang. Wajah Beliau yang tenang dan damai merupakan pandangan yang menentramkan bagi mereka yang menatapnya. Kedamaian dan toleransi yang dibabarkan-Nya diterima oleh semua orang dengan rasa syukur yang luar biasa, karena memberi manfaat kepada setiap orang yang mendengar dan melaksanakannya.

Dimanapun Beliau membabarkan ajaran-Nya, disana Beliau pasti meninggalkan kesan mendalam kepada semua Pendengar-Nya. Perkembangan kebudayaan dari semua negara Buddhis terutama disebabkan oleh ajaran – ajaran-Nya yang mulia. Kenyataannya, semua negara Buddhis seperti Srilanka, Birma, Thailand, Nepal, Tibet, Tiongkok, Mongolia, Korea, Jepang dan lain – lain tumbuh dalam pangkuan agama Buddha. Walaupun lebih dari 2.500 tahun telah lewat sejak wafatnya Guru Agung ini, tetapi kepribadianNya yang unik masih tetap memberi pengaruh yang besar kepada semua orang yang menghayati ajaran Beliau.

Tekad yang kuat, kebijaksanaan yang dalam, cinta kasih yang universal, welas asih yang tidak terbatas, pengabdian tanpa pamrih, kesucian yang sempurna, kepribadian yang menarik, metoda – metoda yang dipergunakan untuk menyebarkan Dhamma nan agung dan keberhasilan-Nya yang dicapai ; semua faktor – faktor ini mengakibatkan kurang lebih seperlima penduduk dunia sekarang mengakui Sang Buddha sebagai Guru Agung mereka.

Sebagai pujian terhadap pribadi Sang Buddha, Sri Radhakrisnan menyatakan : “ Dalam pribadi Buddha Gotama kita dapatkan seorang ahli pikir dunia timur yang tak ada duanya sejauh berkenaan dengan pengaruhnya terhadap pikiran dan kehidupan umat manusia. Beliau dianggap sebagai pendiri suatu agama tradisi yang ajaran – ajaran-Nya luas dan dalam. Pikiran Beliau adalah milik dunia, warisan bagi semua orang yang berbudaya, karena bila dinilai dengan integritas intelektual, semangat moral dan wawasan spiritual, tak dapat diragukan lagi. Beliau sesungguhnya merupakan salah seorang dari tokoh - tokoh sejarah itu. “

Dalam buku, “ The Greatest Men in History, “ H.G. Wells menulis : “ Dalam pribadi Sang Buddha kita temukan seorang manusia sederhana yang cinta damai, seorang pencari kebenaran, suatu pribadi yang nyata, bukan suatu mitos. Beliau memberikan pesan yang bercorak universal pada umat manusia. Banyak gagasan – gagasan modern kita masih selaras dengannya. Beliau mengajarkan bahwa semua kesengsaraan dan ketidakpuasan disebabkan oleh sifat mementingkan diri sendiri. Sebelum seseorang dapat menjadi tenang, ia harus menghentikan cara hidupnya yang hanya mementingkan diri sendiri dan mengejar kesenangan – kesenangan indrianya. Sang Buddha telah mengajak umat manusia untuk menghilangkan sifat keakuan sejak 500 tahun sebelum Jesus lahir. “

St. Hilare menyatakan : “ Contoh sempurna didalam semua kebajikan yang Beliau ajarkan adalah bahwa tidak ada satu nodapun yang mengotori kehidupan Sang Buddha. “

Fausboll mengatakan : Semakin aku mengenal-Nya, semakin aku mencintai-Nya. “

Pengikut Beliau yang rendah hati juga akan berkata : “ Semakin aku mengenal-Nya, semakin aku mencintai-Nya ; semakin aku mencintai-Nya, semakin aku mengenal-Nya.



sumber :

Senin, 28 Juni 2010

Intisari V

INTISARI AGAMA BUDDHA
Merupakan karya tulis Ven. Narada Mahathera
dengan judul asli “ Buddhism in Nutshell.”
Penerbit : Yayasan Dhamma Phala, Semarang




KAMMA ATAU HUKUM SEBAB AKIBAT

Dunia telah membuktikan kenyataan yang telah kita lihat ketidak seimbangan itu. Kita menyaksikan perbedaan – perbedaan berbagai macam jalan kehidupan serta tingkah laku makhluk – makhluk yang hidup di alam semesta. Kita dapat melihat seseorang dilahirkan dalam keadaan berlebihan, dikarunia dengan pikiran, kepribadian dan tubuh yang sempurna ; sedangkan orang lain dilahirkan dalam keadaan sengsara dan menyedihkan. Bisa terjadi orang yang bajik dan saleh selalu bernasib buruk. Ia tetap miskin dan sengsara meskipun ia selalu berlaku jujur dan bajik. Sebaliknya, ada orang lain yang berwatak jahat, kejam dan korup, tetapi selalu mujur, dikaruniai dengan segala bentuk kesenangan.

Timbul berbagai pertanyaan dalam diri kita, mengapa seseorang mempunyai kedudukan rendah, sedang orang lain mempunyai kedudukan mulia ? Mengapa seseorang harus direnggut dari tangan ibu yang penuh kasih sayang sewaktu ia masih kanak – kanak, sedangkan orang lain meninggal dalam usia remaja atau pada usia delapan puluh atau seratus tahun ? Mengapa seseorang memiliki fisik lemah dan berpenyakitan, sedang orang lain memiliki tubuh yang kuat dan sehat ? Mengapa seseorang berwajah tampan, dan orang lain berwajah buruk, menakutkan, sehingga orang lain ngeri dan takut melihatnya ? Mengapa seseorang dibesarkan dalam kemewahan, sedang orang lain dibesarkan dalam kemiskinan dan kesengsaraan ? Mengapa seseorang terlahir sebagai jutawan, sedang orang lain terlahir sebagi pengemis ? Mengapa seseorang memiliki kecerdasan luar biasa, sedang orang lain begitu tolol ? Mengapa seseorang terlahir dengan sifat saleh, sedangkan orang lain terlahir dengan kecenderungan – kecenderungan kriminal ? Mengapa ada orang yang berbakat sebagai ahli bahasa, artis, ahli matematika atau ahli musik sejak lahir ? Mengapa ada orang yang buta, tuli dan cacat sejak lahirnya, mengapa ? Inilah beberapa pertanyaan yang membingungkan orang – orang. Bagaimana kita harus menerangkan “ ketidakadilan “ dunia, perbedaan – perbedaan di antara umat manusia ini ? Apakah semua fenomena itu terjadi secara kebetulan ?

Dalam dunia ini tak ada sesuatu yang terjadi secara kebetulan. Menyatakan bahwa sesuatu terjadi secara kebetulan adalah sama salahnya dengan menyatakan buku ini ada dengan sendirinya tanpa ada faktor – faktor lain sebelumnya. Sesungguhnya, tak ada sesuatu yang terjadi pada manusia tanpa alasan dan yang tidak dikehendaki.

Apakah hal – hal ini disebabkan oleh sesuatu makhluk yang tak bertanggung jawab ?

Huxley menulis : “ Apakah kita berpendapat bahwa ada seseorang atau sesuatu yang mengatur keadaan alam semesta yang menakjubkan ini, maka dalam pengertianku ia tidak dapat disebut murah hati dan adil, melainkan kejam dan tidak adil “.

Menurut Einstein : “ Bila makhluk adikodrati ini maha kuasa, maka setiap kejadian, termasuk setiap perbuatan, pikiran, perasaan dan aspirasi manusia juga merupakan karyanya ; lalu bagaimana manusia harus bertanggung jawab atas perbuatan – perbuatan dan pemikiran – pemikiran mereka dihadapan makhluk maha kuasa seperti itu ?

“ Sewaktu memberi hukuman dan anugrah, ia sedikit banyak juga harus mengadili dirinya sendiri. Lalu bagaimana hal ini dapat dikaitkan dengan kebajikan dan keadilan yang dianggap berasal dari dirinya ? ”.

“ Menurut asas – asas theologie, manusia diciptakan bukan atas dasar keinginannya sendiri, dan untuk selamanya ia mulia atau celaka. Dengan begitu, sejak awal dalam proses penciptaan fisiknya sampai saat kematiannya, manusia itu dapat baik atau jahat, beruntung atau celaka, mulia atau hina, tanpa menghiraukan akan keinginan – keinginan, harapan – harapan, cita – cita, usaha – usaha atau doa sujudnya. Inilah fatalisme theologi “. ( Spencer Lewis ).

Sebagaimana Charles Bradlaugh mengatakan : “ Adanya keburukan merupakan suatu penghalang yang menakutkan bagi ajaran theis. Penderitaan, kesengsaraan, kejahatan, kemiskinan bertolak belakang dengan penganjur kebaikan abadi dan berlawanan dengan pernyataannya akan kemampuan dirinya sebagai dewa serba baik, serba bijaksana dan serba kuasa “.

Menurut Schopenhauer “ Barang siapa menganggap dirinya berasal dari ketiadaan, maka ia juga harus berpikir bahwa ia akan kembali ke ketiadaan itu lagi ; suatu kekekalan telah lewat sebelum ia ada dan kekekalan kedua telah dimulai, yang melaluinya ia tidak akan pernah berakhir adalah suatu pemikiran yang menakutkan “.

“ Bila kelahiran adalah permulaan yang mutlak, maka kematian seharusnya akhir yang mutlak pula. Anggapan bahwa manusia berasal dari ketiadaan pasti akan membawa pada anggapan bahwa kematian adalah akhir yang mutlak “.

Memberikan komentar terhadap penderitaan manusia dan dewa pencipta, Prof.J.B.S. Haldane menulis : “ Kalau bukan penderitaan yang diperlukan untuk menyempurnakan sifat manusia, tentu dewa pencipta itu tidak maha kuasa. Teori yang pertama tidak sesuai dengan kenyataan bahwa, sebagian orang yang hanya sedikit sekali menderita namun beruntung dalam keturunan dan pendidikan terbukti mempunyai sifat yang baik. Keberatan terhadap teori yang kedua adalah bahwa hal itu hanya berkenaan dengan alam semesta secara keseluruhan dan bahwasanya terdapat suatu kekosongan intelektual yang harus diisi dengan mendalilkan seorang dewa. Dan barangkali seorang pencipta dapat menciptakan apa saja yang dia inginkan “.

Lord Russell menyatakan : “ Sebagaimana diceritakan kepada kita, dunia diciptakan oleh seorang dewa yang baik dan maha kuasa. Sebelum dia menciptakan dunia, ia telah melihat seluruh penderitaan dan kesengsaraan yang akan terjadi di dalamnya. Karenanya, ia bertanggung jawab atas segala sesuatunya. Adalah suatu hal yang sia – sia memperdebatkan bahwa penderitaan dalam dunia disebabkan oleh dosa. Bila dewa pencipta itu telah mengetahui sebelumnya akan dosa yang bakal dilakukan umat manusia, maka jelas ia bertanggung jawab akan akibat – akibat dosa itu.

Mungkinkah segala perbedaan yang ada pada manusia ini disebabkan oleh faktor keturunan dan lingkungan ? kita harus mengakui bahwa semua fenomena fisik – kimiawi yang diungkapkan oleh para ilmuwan, sebagian adalah sebagai faktor pembantu, tetapi tidak seluruhnya mutlak bertanggung jawab atas perbedaan – perbedaan besar yang terdapat di antara individu – individu. Lalu mengapa ada anak kembar yang memiliki tubuh serupa, mewarisi gen yang sejenis, menikmati kesempatan asuhan yang sama, seringkali memiliki watak, moral dan kecerdasan yang sangat berbeda ?

Keturunan saja tidak dapat menyebabkan perbedaan – perbedaan yang besar ini. Sesungguhnya, faktor keturunan lebih masuk akal atas persamaan – persamaan mereka daripada atas perbedaan – perbedaan. Benih fisik – kimiawi dengan panjangnya kira – kira sepertiga puluh inci yang diwarisi dari orang tua, hanya menerangkan satu bagian dari manusia, yaitu dasar fisiknya. Mengenai perbedaan – perbedaan batin, intelektual dan moral yang jauh lebih kompleks dan halus itu diperlukan penerangan batin yang lebih dalam. Teori keturunan tidak dapat memberikan suatu jawaban yang memuaskan tentang lahirnya seorang kriminal dalam sebuah keluarga yang mempunyai leluhur terhormat atau kelahiran seorang suci atau mulia dalam sebuah keluarga yang memiliki reputasi jelek dan tentang lahirnya seorang tolol, manusia genius dan guru – guru besar.

Menurut agama Buddha, perbedaan – perbedaan ini tidak hanya disebabkan oleh faktor keturunan dan lingkungan, tetapi juga disebabkan oleh kamma kita sendiri, atau dengan kata lain, disebabkan oleh akibat dari perbuatan lampau kita dan perbuatan – perbuatan kita sekarang. Kita sendiri yang harus bertanggung jawab atas perbuatan – perbuatan kita. Kita membangun penjara kita sendiri. Kita adalah arsitek dari nasib kita sendiri. Singkatnya, diri kita merupakan akibat dari kamma kita sendiri.

Bagaimana kita bisa mempercayai semua ini, dengan perbedaan berdasarkan hukum sebab akibat atau sebagai hasil dari bibit kammanya sendiri. Disinilah Sang Buddha tidak memaksa supaya kita percaya. Hal ini malah kita diminta untuk datang dan buktikan terlebih dahulu. Semua hal ini bagaikan Beliau menerangkan masalah Bakteri, Virus dan sebagainya. Kita bisa membuktikan adanya mereka dengan melihat dan menyaksikan sendiri dengan menggunakan microscope elektrone. Kalau kita ingin melihat dengan mata daging ini sudah pasti Hukum Kamma yang begitu rumit dan susah dilihat akibatnya. Tetapi semua ini telah dibuktikan kebenarannya itu oleh para Suciwan. Dengan kekuatan batin yang tenang didalam Jhana IV. Jadi secara tegas siapapun yang mampu mencapai Jhana IV. Mereka pasti bisa membuktikan kebenaran itu.

Pada suatu ketika, seorang pemuda bernama Subha datang menemui Sang Buddha dan bertanya kepada Beliau, “ Mengapa dan apa sebabnya di antara umat manusia ada yang memiliki keadaan rendah dan ada yang memiliki keadaan mulia ? Mengapa ada manusia yang berumur pendek dan ada yang berumur panjang, ada yang sehat dan ada yang berpenyakitan, ada yang berwajah tampan dan ada yang berwajah buruk, ada yang berkuasa dan yang tertindas, ada yang miskin dan ada yang kaya, ada yang hina dan ada yang mulia, ada yang bodoh dan ada yang bijaksana ? “

Sang Buddha menjawab : “ Semua makhluk memiliki kammanya sendiri, mewarisi kammanya sendiri, lahir dari kammanya sendiri, berhubungan dengan kammanya sendiri, terlindung oleh kammanya sendiri. Kammalah yang membuat semua makhluk menjadi berbeda, hina atau mulia “.

Selanjutnya Sang Buddha menerangkan sebab perbedaan – perbedaan tersebut sesuai dengan hukum Sebab Akibat.

Dari sudut pandangan agama Buddha, perbedaan – perbedaan batin, intelektual, moral dan watak kita sekarang, pada prinsipnya disebabkan oleh perbuatan – perbuatan kita sendiri yang dilakukan di waktu lampau dan di waktu sekarang.

Secara harfiah kamma berarti perbuatan, tetapi, dalam pengertian mutlaknya kamma berarti kehendak. Kamma ada yang baik ( Kusala Cetana ) dan yang buruk ( Akusala Cetana ) . Perbuatan baik akan membuahkan kebaikan. Perbuatan jahat akan membuahkan kesedihan. Inilah hukum kamma.

Kita memetik apa yang kita tanam. Kita adalah akibat dari apa yang kita lakukan di waktu lampau ; kita akan menjadi akibat dari apa yang kita lakukan sekarang, tetapi kita tidak mutlak hanya merupakan akibat dari apa yang kita lakukan diwaktu lampau ; kita tidak mutlak hanya menjadi akibat dari apa kita lakukan sekarang. Misalnya seorang kriminal mungkin saja dapat menjadi orang suci dikemudian hari dan sebaliknya.

Agama Buddha mengkaitkan perbedaan ini dengan kamma, tetapi tidak menyatakan bahwa segala sesuatu disebabkan oleh kamma saja. Apabila segala sesuatu disebabkan oleh kamma, maka seorang penjahat akan selamanya menjadi jahat, karena kammanya yang menjadikan dirinya jahat. Orang tidak perlu memeriksakan dirinya ke dokter untuk disembuhkan penyakitnya, karena bila kammanya memang harus demikian ia akan sembuh dengan sendirinya.

Menurut agama Buddha, terdapat lima hukuman atau proses ( Niyama ) yang berlaku dalam alam mental dan fisik, yaitu :

• Kamma niyama atau hukum sebab dan akibat : perbuatan baik dan buruk menghasilkan akibat –

akibat yang sesuai.

• Bija niyama atau hukum benih ( hukum fisik organik ) ; beras dihasilkan dari padi, gula

dihasilkan dari tebu atau madu, dan lain – lain. Teori ilmiah tentang sel – sel dan gen – gen ( plasma pembawa sifat ) dan kemiripan fisik anak kembar dapat dianggap berasal dari hukum ini.

• Utu niyama atau hukum fisik ( inorganik ), yaitu fenomena angin dan hujan menurut musim.

• Citta niyama atau hukum pikiran ( hukum psikis ), yaitu proses – proses kesadaran ( citta vitthi ), kekuatan pikiran dan lain – lain.

• Dhamma niyama atau hukum alam, yaitu : fenomena alam yang terjadi pada saat kedatangan Bodhisatta pada kelahiran terakhir, gaya tarik bumi, dan lain – lain.

Setiap fenomena mental dan fisik dapat diterangkan dengan lima hukum serba lengkap ini, atau proses yang merupakan hukum itu sendiri.

Karena itu, kamma hanyalah merupakan salah satu dari lima hukum yang berlaku dalam alam semesta. Kamma adalah hukum itu sendiri, tetapi dengan demikian tidak berarti harus ada seseorang pemberi hukum. Kamma bekerja dalam bidangnya sendiri tanpa campur tangan atau pengaruh dari apapun. Misalnya, tak ada orang yang memutuskan bahwa api itu harus membakar. Tak ada orang yang memerintahkan bahwa air harus mencari permukaan yang rendah. Tak ada ilmuwan yang memerintahkan bahwa air harus terdiri dari H2O dan sifat dingin harus menjadi salah satu sifatnya. Kamma bukanlah nasib atau takdir yang ditimpakan pada kita oleh kekuatan misterius yang tak dikenal, kepada siapa kita harus menyerahkan diri kita tanpa daya. Perbuatan seseorang sendirilah yang memberi akibat pada dirinya, sehingga dengan demikian ia mempunyai suatu kemungkinan untuk membelokkan jalannya kamma sampai taraf tertentu. Berapa jauh ia dapat membelokkannya tergantung pada usaha dirinya sendiri.

Perlu diingatkan di sini, bahwa fraseologi seperti anugrah dan hukuman jangan dimasukkan dalam pembicaraan mengenai kamma. Kamma dalam agama Buddha tidak mengakui Dewa Maha Kuasa yang memerintah warganya dan memberikan anugrah atau hukuman. Umat Buddha percaya bahwa kesedihan dan kebahagiaan yang dialami seseorang merupakan akibat wajar dari perbuatan – perbuatan baik dan buruknya sendiri. Disini perlu dinyatakan bahwa kamma memiliki dua prinsip, kelangsungan dan balas jasa.

Sifat yang terdapat dalam hukum kamma adalah kemampuan yang menghasilkan akibat sebagaimana mestinya. Sebab menghasilkan akibat ; akibat menerangkan sebab. Benih menghasilkan buah ; buah menghasilkan benih, karena keduanya saling berhubungan. Begitu juga, kamma dan akibatnya saling berhubungan ; “ akibat berkembang di dalam sebab “.

Seorang umat Buddha yang benar – benar yakin akan kamma tak akan berdoa pada makhluk lain untuk diselamatkan, tetapi dengan penuh keyakinan ia bergantung pada dirinya sendiri untuk mencapai kesuciannya, karena hukum kamma mengajarkan tanggung jawab pribadi.

Ajaran kamma inilah yang memberi hiburan, harapan, kepercayaan pada diri sendiri dan keberanian moral. Keyakinan dalam hukum kamma inilah “ yang mengabsahkan usaha, mengorbankan semangat, untuk selalu berbuat bajik, toleran dan berhati – hati “. Keyakinan yang teguh dalam ajaran hukum kamma ini juga mendorong untuk berbuat baik dan menjadi orang baik tanpa merasa takut akan hukuman atau tergoda oleh anugerah apapun. Ajaran kamma inilah yang dapat menerangkan persoalan – persoalan mengenai penderitaan, misteri yang dinamakan nasib atau takdir dalam ajaran – ajaran lain dan terpenting adalah menerangkan “ ketidaksamaan di antara umat manusia “. Kamma dan tumimbal lahir diterima sebagai dalil.



TUMIMBAL LAHIR

Selama kekuatan kamma masih ada, selalu akan terjadi tumimbal lahir. Makhluk – makhluk merupakan perwujudan nyata dari kekuatan yang tak terlihat ini. Kematian hanya merupakan akhir sementara dari fenomena yang tidak langgeng ini. Kehidupan organik telah berakhir, tetapi kekuatan kamma yang telah menggerakkannya sampai sekarang ini belum hilang. Karena kekuatan kamma tidak terganggu oleh kehancuran badan jasmani, maka datangnya saat pikiran kematian ( Cuti Citta ) sekarang ini mempersiapkan kesadaran baru dalam kelahiran berikutnya.

Kamma yang berakar pada kebodohan dan nafsu keinginan menjadi syarat bagi tumimbal lahir. Kamma lampau menentukan kelahiran sekarang dan kamma sekarang bergabung dengan kamma lampau, menentukan kelahiran berikutnya. Keadaan sekarang adalah akibat dari keadaan yang lalu dan menjadi sebab dari akibat yang akan datang. Sebab menjadi akibat dan akibat menjadi sebab. Dalam suatu lingkaran sebab akibat, sebab awal tak dapat diketahui. Menurut teori pertama, kehidupan mempunyai awal ; sedang menurut teori kedua, kehidupan tak mempunyai awal.

Dari sudut pandangan ilmiah, kita merupakan produk langsung dari bersatunya sperma dan sel telur orang tua kita. Demikianlah hidup mendahului hidup. Mengenai asal mula protoplasma kehidupan yang pertama, atau koloid, para ilmuwan tetap berdiam diri.

Menurut agama Buddha kita lahir dari rahim perbuatan ( Kammayoni ) . Orang tua hanya semata – mata menyediakan satu sel yang amat kecil. Demikianlah perwujudan mendahului perwujudan. Pada saat terjadinya kehamilan, tenaga kamma lampau mempersiapkan kesadaran – kelahiran yang memberi gaya hidup kepada janin itu. Tenaga kamma yang tak terlihat yang berasal dari kehidupan lampau inilah yang menghasilkan fenomena mental dan kehidupan dalam suatu fenomena fisik yang sudah ada, melengkapi trio yang membentuk manusia.

Untuk lahirnya seorang makhluk di suatu tempat harus ada seorang makhluk yang mati di tempat lain. Kelahiran seorang makhluk, sesungguhnya berarti munculnya lima khandha ( kelompok kehidupan ) atau fenomena psiko – fisik dalam kehidupan sekarang ini yang dapat disamakan dengan kematian seorang makhluk dalam suatu kehidupan lampau. Seperti misalnya dalam contoh sehari – hari : timbulnya matahari di suatu tempat dan terbenamnya di tempat lain. Pernyataan yang membingungkan ini dapat dimengerti lebih baik dengan membayangkan kehidupan ini seperti gelombang dan bukan seperti suatu garis lurus. Kelahiran dan kematian merupakan dua fase dari satu proses yang sama. Kelahiran mendahului kematian dan sebaliknya, kematian mendahului kelahiran. Rangkaian kelahiran dan kematian yang tetap dalam kaitannya dengan arus kehidupan masing – masing individu membentuk apa yang secara tehnis dikenal sebagai Samsara – pengembaraan berulang – ulang.

Apakah asal mula kehidupan itu ? Sang Buddha menyatakan : “ Awal proses samsara ini tidak dapat dipahami. Makhluk pertama yang digelapi oleh kebodohan dan dibelenggu oleh nafsu keinginan, berkelana dan tunggang langgang di dalam kehidupan tak menentu. “

Arus kehidupan ini mengalir terus tanpa akhir, ad – infinitum selama terus diisi dengan lumpur kebodohan dan nafsu keinginan. Hanya bilamana kedua hal ini hancur seluruhnya, maka arus samsara ini akan berhenti mengalir. Tumimbal lahir berakhir seperti halnya dengan para Buddha dan Arahat. Awal mula kehidupan ini tidak dapat dipastikan, karena taraf dimana kekuatan hidup ini masih belum dipenuhi dengan kebodohan dan nafsu keinginan tidak dapat diketahui. Sang Buddha hanya menunjukkan permulaan arus kehidupan makhluk – makhluk. Terserah kepada para ilmuwan untuk berspekulasi tentang asal mula dan evolusi dalam semesta.

Sang Buddha tidak mencoba memecahkan semua persoalan etika dan filsafat yang membuat bingung umat manusia. Beliau pun tidak berurusan dengan teori – teori dan spekulasi – spekulasi yang tidak membawa kepada kemajuan batin dan pada penerangan sempurna. Beliau juga tidak menuntut kepercayaan membuta dari para pengikut-Nya tentang sebab awal. Beliau semata – mata hanya memperhatikan persoalan penderitaan dan penghancurannya.

Tetapi bagaimana kita bisa percaya bahwa ada suatu kehidupan lampau ? Sumber keterangan mengenai tumimbal lahir yang amat diyakini oleh umat Buddha adalah Sang Buddha sendiri. Beliau telah mengembangkan pengetahuan yang menjadikan Beliau mampu melihat kehidupan – kehidupan yang lampau dan kehidupan yang akan datang.

Dengan mengikuti petunjuk – petunjuk Beliau, para siswa-Nya juga mengembangkan pengetahuan ini, sehingga mereka mampu melihat sebagian besar kehidupan lampau mereka sendiri.

Bahkan sebelum zaman Sang Buddha, resi – resi India sudah terkenal akan kemampuannya telinga-dewa dan mata-dewa mereka dan kepandaiannya membaca pikiran serta mengingat kelahiran – kelahiran lampau.

Ada juga beberapa orang yang mungkin sesuai dengan hukum perhubungan, mendadak dapat memiliki kemampuan mengingat kehidupan serta perjalanan hidup mereka yang lampau. Hal seperti ini memang jarang, tetapi beberapa peristiwa yang telah dibuktikan kebenarannya itu, merupakan kejadian yang cukup baik untuk menjelaskan paham mengenai kehidupan lampau. Begitu juga mengenai pengalaman – pengalaman beberapa ahli ilmu jiwa modern yang dapat dipercaya dan kejadian – kejadian aneh tentang kepribadian ganda yang berubah – ubah.

Dalam keadaan dihipnotis, beberapa orang dapat menceritakan pengalaman – pengalaman dalam kehidupan lampau mereka ; sedangkan beberapa orang lainnya dapat membaca kehidupan lampau orang – orang lain dan bahkan dapat mengobati berbagai penyakit.

Kadang – kadang kita memperoleh pengalaman aneh yang hanya dapat diterangkan melalui teori tumimbal lahir.

Sering kita bertemu dengan orang – orang yang belum pernah kita kenal, namun secara naluri kita merasa bahwa mereka pernah dekat dengan kita. Betapa seringnya kita mengunjungi tempat – tempat tertentu dan merasa seolah – olah kita sudah biasa dan tidak asing lagi dengan lingkungan itu.

Sang Buddha menyatakan : “ Melalui pengalaman dulu dan kesempatan – kesempatan dalam hidup sekarang, kenangan lama tumbuh kembali bagaikan bunga teratai muncul dari dalam air “. Pengalaman – pengalaman beberapa ahli ilmu jiwa yang dapat dipercaya, fenomena – fenomena ajaib, komunikasi roh, kejadian aneh tentang kepribadian ganda dan sebagainya, dapat menjelaskan tentang persoalan tumimbal lahir ini.

Dalam dunia ini terlahir beberapa manusia sempurna seperti para Buddha, orang – orang jenius. Apakah mereka tiba – tiba saja sempurna ? Dapatkah mereka merupakan hasil dari satu kehidupan saja ?

Bagaimana kita akan menerangkan tentang pribadi – pribadi besar seperti Buddhaghosa, Panini, Kalidasa, Homer dan Plato, manusia – manusia genius seperti Shakespeare, anak – anak ajaib seperti Pascal, Mozart, Beethoven, Raphael, Ramanujan dan lain – lain. Fakor keturunan saja tidak dapat menjelaskan kehadiran mereka.

Dapatkah karier mereka menanjak demikian tingginya bila mereka tidak mengalami kehidupan dan pengalaman serupa dalam kehidupan mereka yang lampau ? Apakah hanya karena kebetulan bahwa mereka dilahirkan dari orang tua tertentu sehingga berada dalam lingkungan – lingkungan yang menguntungkan tersebut.

Kesempatan hidup beberapa tahun dalam dunia ini atau paling sedikit lima tahun, sudah pasti tidak dapat merupakan persiapan yang cukup untuk mencapai kepandaian itu. Bila orang percaya akan kehidupan sekarang dan yang akan datang, maka cukup masuk akal untuk percaya akan adanya kehidupan lampau. Saat sekarang merupakan anak dari saat yang lampau dan selanjutnya menjadi orang tua dari saat mendatang.

Bila ada alasan – alasan untuk percaya bahwa kita pernah hidup pada waktu lampau, maka pasti tak ada alasan untuk tidak percaya bahwa kita akan tetap hidup setelah kehidupan kita nampaknya berakhir.

Seorang penulis barat menyatakan : “ Apakah kita mempercayai adanya suatu kehidupan lampau atau tidak, hal tersebut merupakan satu – satunya hipotesa yang masuk akal yang menjembatani jurang tertentu dalam pengetahuan manusia tentang berbagai fakta kehidupan sehari – hari “. Nalar kita memberitahukan bahwa paham tentang kehidupan lampau dan kamma ini sajalah yang dapat menerangkan tingkat – tingkat perbedaan yang ada di antara anak kembar ; bagaimana orang seperti Shakespeare dengan bekal pengalaman yang amat terbatas mampu menulis dengan kecepatan yang mengagumkan tentang berbagai macam karakter dalam adegan – adegan sandiwaranya yang belum pernah ia pelajari sebelumnya. Mengapa karya orang – orang jenius selalu melampaui bekal pengalamannya sendiri ?

Perlu dicamkan apakah ajaran tumimbal – lahir ini dibenarkan atau tidak, namun hal itu diterima sebagai suatu fakta yang dapat dibuktikan kebenarannya.

Sang Buddha selanjutnya menyatakan : “ Sebab dari kamma ini adalah avijja atau ketidaktahuan tentang Empat Kebenaran Mulia . Karena itu kebodohan merupakan sebab kelahiran dan kematian ; pengetahuan ( vijja ) tentang Empat Kebenaran Mulia berakibat berhentinya proses kelahiran dan kematian ini. “

Percayakah kita terhadap tumimbal lahir ?

Hal ini harus anda jawab sendiri. Adakah hari esok ? Besok itu ada dan menjadi hari ini. Sekarang ini ada karena kelanjutan dari hari kemarin. Jadi dengan tegas terlihat kemarin itu ada, sebagai persamaan dari kehidupan yang lampau. Sekarang ini adalah kehidupan kita sekarang dan besok ada karena adanya sekarang yang mana menunjukkan dengan adanya hidup sekarang masih ada kelanjutan dalam kehidupan yang mendatang !!!

Hasil metode analitis ini diterangkan dalam Paticca Samuppada.

Sumber :

Intisari IV

INTISARI AGAMA BUDDHA
Merupakan karya tulis Ven. Narada Mahathera
dengan judul asli “ Buddhism in Nutshell.”
Penerbit : Yayasan Dhamma Phala, Semarang



CORAK UTAMA AGAMA BUDDHA

Inti yang terpenting dari Buddha Dhamma adalah 4 Kesunyataan Mulia yaitu :

1. Dukkha : Problem dan masalah dari semua makhluk.

2. Samudaya : Sebab yang menimbulkan problem dan masalah itu.

3. Nirodha : Padamnya dari semua problem.

4. Magga : Jalan yang mengakhiri semua problem dan masalah.

Apakah Kebenaran Mulia tentang Dukkha itu ? Kelahiran, usia tua, kematian adalah dukkha ; kesakitan, keluh kesah, ratap tangis, kesedihan dan putus asa adalah dukkha ; berpisah dengan yang dicintai, berkumpul dengan yang tidak disenangi, tidak memperoleh apa yang diinginkan adalah dukkha. Singkatnya, lima kelompok kemelekatan adalah dukkha jadi secara tegas harus kita terima problem dan masalah itu sebagai kenyataan hidup yang tidak bisa dihindari oleh siapapun.

Apakah Kebenaran Mulia tentang sebab dari Dukkha itu ? “ Itulah nafsu keinginan ( tanha ) yang mengakibatkan kelahiran berulang – ulang ; yang mencari kenikmatan kesana kemari ; yang terdiri atas nafsu keinginan akan kenikmatan – kenikmatan indria ( kama-tanha ) , karena adanya kama-tanha inilah yang akan menimbulkan Bhava tanha ( menginginkan hal – hal yang positif selalu kita dapatkan ), dan akhir bisa menimbulkan penolakan terhadap hal – hal yang tidak diinginkan ( Vibhava tanha ). Semua ini harus dikurangi, dilemahkan dan disingkirkan.

Apakah Kebenaran Mulia tentang Akhir dari Dukkha itu ? “ Itulah penghancuran total, berakhirnya sama sekali, dilepaskannya, ditinggalkannya, tidak terdapatnya nafsu keinginan dan selalu berada di dalam batin yang tenang, damai dan suci. Hal ini harus direalisasikan oleh diri sendiri “.

Apakah Kebenaran Mulia tentang jalan yang membawa kepada akhir Dukkha ? Itulah Delapan Faktor Jalan Utama, yaitu :

1. Pengertian Benar ( samma – ditthi )

2. Pikiran Benar ( samma – sankappa )

3. Ucapan Benar ( samma – vaca )

4. Perbuatan Benar ( samma – kammanta )

5. Penghidupan Benar ( samma – ajiva )

6. Usaha Benar ( samma – vayama )

7. Perhatian Benar ( samma – sati )

8. Konsentrasi Benar ( samma – samadhi )



Siapapun yang menjalankan ke delapan faktor jalan utama ini. Mereka akan mendatangkan kebahagiaan bagi lingkungannya, kebahagiaan dan ketenangan bagi pikiran mereka sendiri dan akhirnya mampu membuat batin dan pikirannya Suci murni yang harus dijalankan bagi para Bijaksana.

Apakah para Buddha muncul di dunia atau tidak, Empat Kebenaran Mulia ini tetap ada dalam alam semesta. Sang Buddha hanya menunjukkan kebenaran yang tersembunyi dalam jurang waktu yang dalam.

Bila diartikan secara alamiah, Dhamma dapat disebut hukum sebab dan akibat. Keduanya ini mencakup seluruh kumpulan ajaran Sang Buddha.

Tiga yang pertama mencakup filsafat agama Buddha, yang keempat membabarkan etika agama Buddha. Berdasarkan pada filsafat tersebut, Empat Kebenaran Mulia ini ada pada badan jasmani kita sendiri. Seperti telah disabdakan oleh Sang Buddha : “ Dalam tubuh yang panjangnya dua depa ini bersama dengan pencerapan dan pikirannya, kunyatakan adanya dunia, asal dunia , akhir dunia dan jalan yang membawa kepada akhir dunia “. Disini, istilah dunia diterapkan untuk dukkha.

Agama Buddha berputar pada poros dukkha ( penderitaan ). Tetapi tidak berarti bahwa agama Buddha bersifat pesimis. Agama Buddha bukan mutlak pesimis ataupun mutlak optimis. Tetapi sebaliknya, agama Buddha mengajarkan kebenaran yang terletak antara keduanya. Orang boleh menyatakan Sang Buddha bersifat pesimis bila Beliau hanya mengajarkan kebenaran tentang penderitaan tanpa memberikan suatu cara untuk mengakhirinya. Sang Buddha melihat penderitaan dan memberikan obat mujarab untuk penyakit umum umat manusia ini.

Menurut Sang Buddha, kebahagiaan tertinggi yang dapat dicapai adalah NIBBANA, yaitu padamnya penderitaan dan kemelekatan secara total.

Pengarang artikel tentang pesimisme dalam Encyclopaedia Britannica menulis : “ Pesimisme adalah suatu sikap putus asa terhadap kehidupan, karena adanya suatu pandangan umum yang salah bahwa penderitaan dan keburukan lebih menonjol dalam kehidupan. Sesungguhnya, ajaran asli Sang Buddha sama optimisnya dengan pandangan dunia barat. Menyatakan agama Buddha bersifat pesimis hanyalah semata – mata menerapkan prinsip dunia barat dimana kebahagiaan tak mungkin ada tanpa kepribadian. Penganut Buddhis yang sejati melangkah maju dengan penuh kegairahan untuk dapat mencapai kebahagiaan abadi “.

Pada umumnya, kenikmatan akan kesenangan indria merupakan suatu kebahagiaan yang tertinggi bagi rata – rata orang. Sudah pasti terdapat semacam perasaan bahagia yang amat didambakan. Tetapi perasaan itu bersifat semu dan sementara. Menurut Sang Buddha, kebebasan dari kemelekatan merupakan satu kebahagiaan yang lebih tinggi.

Sang Buddha tidak mengharap agar siswa Beliau selalu merenungi penderitaan dan menjalani suatu kehidupan yang sengsara. Beliau mengharapkan agar para siswa-Nya selalu bahagia dan gembira, karena kegembiraan ( piti ) merupakan salah satu faktor Penerangan Sempurna.

Kebahagiaan sejati terdapat di dalam diri sendiri, tidak ditentukan oleh kekayaan, anak, kehormatan atau kemasyuran. Bilamana faktor – faktor tersebut disalahgunakan, diperoleh secara paksa atau tidak halal, diselewengkan atau bahkan dimiliki dengan kemelekatan, mereka akan menjadi sumber penderitaan bagi pemiliknya.

Umat Buddha menerima penderitaan sebagaimana adanya dan mencari sebab untuk melenyapkannya. Penderitaan tetap ada selama masih ada nafsu keinginan. Penderitaan hanya dapat dilenyapkan dengan berjalan sesuai Delapan Faktor Jalan Utama untuk selanjutnya mencapai Kebahagiaan Agung – Nibbana.

Empat Kebenaran Mulia, ini dapat dibuktikan melalui pengalaman. Buddha Dhamma tidak didasarkan pada rasa takut akan sesuatu yang tidak diketahui, tetapi didirikan di atas fakta – fakta yang dapat diuji oleh diri kita sendiri dan dibuktikan melalui pengalaman. Karena itu, agama Buddha adalah praktis dan pragmatis.

Sistem yang praktis dan pragmatis seperti itu tidak berisi ajaran – ajaran rahasia. Dengan begitu, keyakinan membuta merupakan hal yang asing bagi umat Buddha. Dimana tidak terdapat keyakinan membuta, tidak akan ada paksaan atau fanatisme. Demi kebanggaan agama Buddha harus dikatakan bahwa sepanjang penyebarannya selama 2.500 tahun tak ada setetespun darah yang ditumpahkan atas nama Sang Buddha. Tak ada raja – raja besar yang menggunakan kekuatan pedangnya untuk menyebarluaskan Dhamma dan tak ada orang yang dipaksa menjadi umat Buddha dengan kekerasan atau cara – cara tercela. Sang Buddha merupakan misionaris pertama dan terbesar yang pernah hidup di dunia ini.

Aldous Huxley menulis : “ Di antara semua agama besar yang ada, hanya agama Buddha menapak jalannya tanpa kekerasan, paksaan atau penganiayaan.

Lord Russell menyatakan : “ Di antara agama – agama besar, aku lebih menyukai agama Buddha karena di dalamnya tidak terdapat unsur paksaan apapun “.

Agama Buddha lebih menarik bagi orang – orang intelektual daripada bagi orang – orang emosional. Agama Buddha lebih mengutamakan kwalitas para pengikutnya daripada kwantitasnya.

Pada suatu ketika, Upali, seorang penganut Nigantha Nataputta, menemui Sang Buddha. Ia merasa senang mendengar uraian Dhamma Beliau, sehingga ia segera menyatakan keinginannya untuk menjadi seorang pengikut Sang Buddha. Tetapi Sang Buddha menasehatinya dengan berkata : “ O, kepala rumah tangga, lakukanlah penelitian yang mendalam atas suatu kebenaran. Sungguh baik kalau orang terkenal seperti dirimu melakukan penelitian yang mendalam terlebih dahulu “.

Upali merasa amat gembira mendengar nasehat Sang Buddha yang tak disangka ini, lalu ia berkata : “ Bhante, seandainya aku menjadi pengikut agama lain, maka umatnya akan mengarak diriku sepanjang jalan dengan berteriak – teriak “ Seorang jutawan telah meninggalkan keyakinannya yang lama dan memeluk keyakinan kita “. Tetapi, Bhante malah menasehati agar aku meneliti lebih jauh. Pernyataan-Mu ini membuat diriku lebih yakin. Oleh karena itu Bhante untuk kedua kalinya aku menyatakan diriku berlindung kepada Sang Buddha, Dhamma serta Sangha “.

Agama Buddha dipenuhi dengan semangat kebebasan untuk melakukan penyelidikan dan kesempurnaan toleransi. Merupakan ajaran bagi mereka yang terbuka pikirannya dan memiliki perasaan simpati untuk menerangi dan menghangati seluruh dunia dengan sinar kebijaksanaan dan kasih sayang pada semua makhluk yang berjuang di dalam lautan samsara ( kelahiran dan kematian ).

Sang Buddha begitu toleran sehingga Beliau tidak pernah menggunakan kekuasaan-Nya untuk memberi perintah kepada para pengikut-Nya. Beliau hanya berkata : “ Hal ini pantas dilakukan olehmu. Hal ini tidak pantas dilakukan olehmu. “ Beliau tidak memerintah, tetapi menasehati / menghimbau.

Toleransi Sang Buddha ini tertuju kepada pria, wanita dan semua makhluk hidup. Sang Buddhalah yang pertama kali mencoba menghapuskan sistem perbudakan dan dengan penuh semangat menentang sistem kasta yang berakar kuat di tanah India waktu itu. Menurut pendapat Beliau, bukan kelahiran yang membuat seseorang menjadi sampah masyarakat atau pahlawan, melainkan perbuatan – perbuatannya sendiri. Kasta atau warna kulit tidak menghalangi seseorang untuk menjadi umat Buddha atau untuk masuk menjadi anggota Sangha ( sebagai seorang Bhikkhu ). Para nelayan, tukang sapu, pelacur, brahmana atau kesatria bebas menjadi anggota Sangha dan memperoleh hak dan juga tingkat kedudukan yang sama. Misalnya Upali, seorang tukang cukur diangkat sebagai kepala dalam hal Vinaya. Sunita, tukang sapu telah ditahbiskan oleh Sang Buddha sendiri dan akhirnya mencapai tingkat kesucian Arahat. Angulimala, seorang penjahat, ditahbiskan menjadi Bhikkhu oleh Sang Buddha dan dikemudian hari menjadi seorang suci yang penuh welas asih. Alavaka yang begis mencari perlindungan pada Beliau dan akhirnya mencapai tingkat kesucian. Ambapali, seorang pelacur, menjadi Bhikkhuni dan mencapai tingkat Arahat. Masih banyak lagi contoh – contoh dalam kitab suci Tipitaka yang memperlihatkan bahwa pintu agama Buddha terbuka lebar bagi semua orang, tanpa memandang kasta, warna kulit, atau kedudukan.

Adalah Sang Buddha yang mengangkat kedudukan wanita yang tertindas. Beliau bukan hanya menyadarkan mereka akan pentingnya diri mereka bagi masyarakat, tetapi juga membentuk persaudaraan hidup suci yang pertama di dunia, lengkap dengan aturan – aturan dan disiplinnya.

Istilah Pali yang dipergunakan untuk menyebut wanita ialah “ matugama “, yang berarti masyarakat ibu. Sebagai seorang ibu, wanita menempati suatu kedudukan yang penting dalam agama Buddha. Bahkan istri dianggap sebagai “ kawan terbaik “ ( parama sakha ) bagi suami. Walaupun pada awalnya Sang Buddha menolak pembentukan Persamuan Hidup Suci untuk wanita dengan alasan yang kuat, namun akhirnya Sang Buddha mengabulkan permohonan ibu tiri-Nya, Pajapati Gotami, dan mendirikan Sangha Bhikkhuni. Sama seperti Arahat Sariputra dan Monggallana yang ditunjuk Beliau sebagai dua siswa utama dalam Sangha Bhikkhu, demikian juga Beliau menunjuk Arahat Khema dan Upallavana sebagai dua siswi wanita lainnya yang menjadi pengikut Beliau yang saleh dan setia.

Pada suatu ketika, kepada Raja Kosala yang merasa tidak senang mendengar berita bahwa permaisurinya melahirkan seorang putri, Sang Buddha berkata : “ Seorang anak wanita, O Raja, kadang – kadang terbukti merupakan keturunan yang lebih baik daripada pria “.

Banyak wanita, yang dulunya dikucilkan dan diremahkan telah mengangkat dirinya dengan berbagai cara, memperoleh kebebasan mereka dengan mengikuti Dhamma dan memasuki Sangha. Dalam Sangha inilah, yang dikemudian hari tebukti merupakan berkah besar bagi banyak wanita, permaisuri, putri raja, anak – anak wanita keluarga bangsawan, janda – janda, ibu – ibu yang malang, wanita – wanita yang sengsara, pelacur – pelacur yang patut dikasihani, semuanya meskipun berbeda dalam kasta dan kedudukan, berjumpa dalam satu wadah. Disini mereka memperoleh hiburan dan kedamaian dan menghirup udara kebebasan yang tidak dapat dinikmati oleh mereka dalam villa – villa dan bangsal – bangsal istana.

Sang Buddha juga mencegah upacara pengorbanan binatang – binatang dan menganjurkan agar para siswa-Nya mengembangkan cinta kasih ( metta ) mereka terhadap semua makhluk hidup, juga pada makhluk yang terkecil sekalipun yang merayap di bawah kaki seseorang. Tak ada orang yang mempunyai hak atau kekuasaan untuk menghancurkan kehidupan makhluk lain, karena kehidupan amat berharga bagi semua makhluk.

Seorang umat Buddha yang sejati akan memancarkan cinta kasih ini kepada semua makhluk dan menyamakan dirinya dengan semuanya, tidak membuat perbedaan apapun berkenaan dengan kasta, warna kulit atau jenis kelamin.

Metta ( cinta kasih ) inilah yang berusaha mematahkan rintangan yang memisahkan yang satu dengan yang lain. Tak ada alasan untuk memisahkan diri dari orang lain, karena berbeda bangsa atau kepercayaan. Dalam salah sebuah prasastinya, Raja Asoka menuliskan : “ Musyawarah adalah yang terbaik, karenanya semua orang seharusnya bersedia mendengarkan ajaran yang dianut orang lain “.

Agama Buddha tidak terbatas pada suatu negara atau bangsa. Agama Buddha bersifat universal. Bagi seorang Buddhis tidak ada orang jauh atau dekat, tak ada musuh atau orang asing, tak ada orang murtad ( pembelot ) atau paria, karena cinta universal yang dihayati melalui pengertian yang benar telah membentuk persaudaraan antara semua makhluk hidup. Seorang Buddhis sejati merupakan seorang warga dunia. Ia memandang seluruh dunia sebagai tanah airnya dan semua orang sebagai saudaranya.

Karena itu, agama Buddha adalah unik, terutama karena toleransinya, tanpa permusuhan, masuk akal, praktis, universal dan mulia karena semua pengaruh – pengaruhnya yang menyatukan.


Sumber :

Intisari III

INTISARI AGAMA BUDDHA
Merupakan karya tulis Ven. Narada Mahathera
dengan judul asli “ Buddhism in Nutshell.”
Penerbit : Yayasan Dhamma Phala, Semarang



PATICCA SAMUPPADA

Paticca berarti disebabkan oleh atau bergantung pada ; Samuppada berarti timbul atau asal. Karena itu, secara harfiah, Paticca Samuppada berarti “ Sebab dan Akibat Yang Saling Bergantungan “. Disini perlu kiranya selalu diingat bahwa, Paticca Samuppada hanya merupakan suatu ajaran tentang proses kelahiran dan kematian, bukan suatu teori mengenai asal mula kehidupan. Paticca Samuppada menguraikan sebab musabab tumimbal lahir dan penderitaan, tetapi sama sekali bermaksud menerangkan evolusi dunia.

Kebodohan ( Avijja ) adalah mata rantai atau sebab pertama lingkaran kehidupan. Avijja mengaburkan semua pandangan benar. Bergantung pada kebodohan tentang Empat Kebenaran Mulia timbul kegiatan – kegiatan kehendak ( Sankhara ), baik yang bermoral atau tidak bermoral. Kegiatan – kegiatan kehendak, apakah baik atau buruk, yang berakar dalam kebodohan pasti akan menghasilkan akibatnya yang hanya memperpanjang pengembaraan hidup. Namun demikian, perbuatan – perbuatan baik tetap diperlukan untuk melenyapkan penderitaan hidup.

Bergantung pada kegiatan – kegiatan kehendak, timbullah kesadaran tumimbal – lahir ( Vinnana ) kesadaran ini menghubungkan kehidupan lampau dengan kehidupan sekarang. Bersamaan dengan timbulnya kesadaran tumimbal – lahir, muncul batin dan jasmani ( nama – rupa ). Enam indria ( salayatana ) merupakan akibat yang pasti dari batin dan jasmani. Karena enam indria, timbul kontak ( phassa ). Kontak menimbulkan perasaan ( vedana ). Kelimanya ini, kesadaran, batin dan jasmani, enam indria, kontak beserta perasaan, merupakan akibat perbuatan – perbuatan lampau dan disebut segi pasif kehidupan.

Bergantung pada perasaan, timbul nafsu keinginan ( tanha ). Nafsu keinginan menimbulkan kemelekatan ( upadana ). Kemelekatan merupakan sebab bagi proses kamma ( bhava ), yang selanjutnya menjadi syarat bagi kelahiran yang akan datang ( jati ). Kelahiran merupakan sebab yang pasti dari usia tua dan kematian ( jara marana ).

Bila karena sebab timbul akibat, maka bila sebab berakhir, akibat juga akan berakhir. Urutan balik Paticca Samuppada akan membuat persoalan ini menjadi lebih jelas.

Usia tua dan kematian dimungkinkan karena adanya suatu organisme psiko – fisik. Suatu organisme demikian harus dilahirkan ; karenanya, usia tua dan kematian mensyaratkan kelahiran. Kelahiran itu sendiri merupakan akibat pasti dari perbuatan – perbuatan lampau atau kamma. Kamma disyarati oleh adanya kemelekatan yang disebabkan oleh nafsu keinginan. Nafsu keinginan hanya dapat timbul di mana terdapat perasaan. Perasaan merupakan akibat dari kontak mensyarati organ – organ indria yang tak akan ada tanpa batin dan jasmani. Dimana terdapat batin dan jasmani di sana terdapat suatu kesadaran. Kesadaran merupakan akibat daripada kamma baik dan kamma buruk yang lampau. Melakukan kebaikkan dan keburukkan adalah karena tidak ada pengertian benar tentang segala sesuatu sebagaimana adanya ( kebodohan ).

Seluruh rumusan Paticca dapat diringkas sebagai berikut :

Dengan adanya kebodohan, timbul kegiatan – kegiatan kehendak.

Dengan adanya kegiatan – kegiatan kehendak, timbul kesadaran.

Dengan adanya kesadaran, timbul batin dan jasmani.

Dengan adanya batin dan jasmani, timbul enam landasan indria.

Dengan adanya enam landasan indria, timbul kontak ( kesan – kesan ).

Dengan adanya kontak, timbul perasaan.

Dengan adanya perasaan, timbul keinginan.

Dengan adanya keinginan, timbul kemelekatan.

Dengan adanya kemelekatan, timbul kamma.

Dengan adanya kamma, timbul kelahiran.

Dengan adanya kelahiran, timbul usia tua, kematian, kesedihan dan ratap tangis.

Dengan adanya usia tua, kematian, kesedihan dan ratap tangis timbul kelahiran kembali.

Demikianlah seluruh rangkaian penderitaan timbul. Dua yang pertama dari dua belas mata rantai ini berhubungan dengan kehidupan lampau. Delapan yang selanjutnya berhubungan dengan kehidupan sekarang, sedangkan dua yang terakhir berhubungan dengan kehidupan yang akan datang.

Berakhirnya kebodohan secara mutlak mengakibatkan berhentinya seluruh kegiatan kehendak.

Berakhirnya seluruh kegiatan kehendak mengakibatkan berhentinya kesadaran tumimbal lahir.

Berakhirnya kesadaran tumimbal lahir mengakibatkan berhentinya batin dan jasmani.

Berakhirnya batin dan jasmani mengakibatkan berhentinya enam landasan indria.

Berakhirnya enam landasan indria mengakibatkan berhentinya kontak.

Berakhirnya kontak mengakibatkan berhentinya perasaan.

Berakhirnya perasaan mengakibatkan berhentinya keinginan.

Berakhirnya nafsu keinginan mengakibatkan berhentinya nafsu kemelekatan.

Berakhirnya nafsu kemelekatan mengakibatkan berhentinya kamma.

Berakhirnya kamma mengakibatkan berhentinya kelahiran.

Berakhirnya kelahiran mengakibatkan berhentinya usia tua, kematian, kesedihan, keluh kesah, kesakitan, kesedihan dan ratap tangis.

Berakhirnya usia tua, kematian, kesedihan, keluh kesah, kesakitan, kesedihan dan ratap tangis maka berakhirlah tumimbal lahir.

Demikianlah seluruh rangkaian penderitaan berakhir.


Proses sebab dan akibat terus berlanjut tanpa batas. Permulaan proses ini tidak dapat ditentukan, karena tidak mungkin untuk menyatakan di mana arus kehidupan ini mulai diliputi oleh kebodohan. Tetapi bilamana kebodohan ini diubah menjadi pengetahuan dan arus kehidupan ini dialihkan ke Nibbana – dhatu, maka terjadilah akhir proses kehidupan atau samsara ini.

Intisari

INTISARI AGAMA BUDDHA
Merupakan karya tulis Ven. Narada Mahathera
dengan judul asli “ Buddhism in Nutshell.”
Penerbit : Yayasan Dhamma Phala, Semarang



APAKAH SUATU AGAMA

Agama Buddha tidak menuntut kepercayaan membuta dari para pengikutnya. Sang Buddha menegaskan ajarannya untuk datang dan membuktikan kebenaran itu jadi tidak menuntut untuk percaya secara membuta bagi pengikutnya. Kepercayaan membuta disingkirkan dan diganti dengan suatu keyakinan yang berdasarkan pada pengetahuan, yang dalam bahasa Pali disebut Saddha. Keyakinan seorang umat terhadap Sang Buddha adalah seperti keyakinan orang sakit terhadap dokter yang merawatnya atau seorang murid terhadap guru yang arif bijaksana. Seorang Buddhis mencari perlindungan pada Sang Buddha karena Beliaulah yang telah menemukan jalan kebebasan. Seorang Buddhis tidak mencari perlindungan pada Sang Buddha dengan harapan bahwa ia akan dapat diselamatkan melalui kesucian Beliau. Sang Buddha tidak memberikan jaminan demikian. Karena seorang Buddha tidak dapat membersihkan kekotoran – kekotoran batin orang lain. Seseorang tidak dapat membuat suci orang lain ataupun membuat kotor orang lain. Yang dimaksud Aku berlindung kepada Buddha adalah sifat – sifat mulia. Beliau harus kita punyai didalam diri kita. Beliau Maha Bijaksana jadi kalau kita memiliki kebijaksanaan berarti mengerti dengan jelas mana yang benar dan salah, baik dan buruk, kotor dan bersih, Sukkha dan Dukkha akhirnya mengikuti jalan yang terang, bersih, baik yang membawa kebahagiaan baik bagi diri sendiri maupun demi untuk makhluk yang lainnya. Beliau Maha Suci yang mana kita memiliki pikiran yang bersih jernih didalam menghadapi problem dan masalah, jangan menggunakan emosi dan perasaan yang mengotori pikiran kita sendiri. Sifat inilah yang akan menjadi pelindung kita yang sejati. Beliau memiliki Maha Sati. Kalau kita selalu memiliki kewaspadaan dan berhati – hati terhadap semua aktifitas pikiran, ucapan dan perbuatan dan kita mampu menyeleksi yang positif dan negatif. Lalu menyetop hal – hal yang negatif dan mengembangkan yang positif. Inilah yang dikatakan oleh Umat Buddha. “ Buddham Saranam Gacchami “.

Siapa saja yang memiliki kebijaksanaan, ketenangan ( pikiran bersih ) dan selalu ingat dan waspada didalam pikirannya sendiri. Disinilah Sang Buddha melindungi kita semua.

Sebagai seorang guru, Sang Buddha mengajar kita, tetapi kita sendirilah yang bertanggung jawab atas kesucian diri kita. Walaupun seorang Buddhis mencari perlindungan pada Sang Buddha, namun ia tidak dapat melakukan penyerahan diri dan tidak perlu mengorbankan kebebasan pikirannya dengan menjadi pengikut Sang Buddha. Ia dapat mempergunakan kehendak bebasnya dan mengembangkan pengetahuannya bahkan sampai dapat menjadi seorang Buddha.

Titik tolak agama Buddha adalah penalaran atau pengertian benar, yang dalam bahasa Pali disebut Samma-ditthi.

Kepada para pencari kebenaran, Sang Buddha bersabda : “ Janganlah menerima sesuatu hanya karena cerita orang ( dengan berpikir bahwa hal itu telah kita dengar sejak lama ). Jangan menerima sesuatu hanya karena tradisi ( dengan berpikir bahwa hal itu telah diwariskan turun temurun ). Jangan menerima sesuatu atas dasar kabar angin ( dengan mempercayai apa yang telah dikatakan orang lain tanpa menyelidikinya ). Jangan menerima sesuatu hanya karena perkiraan. Jangan menerima sesuatu hanya karena kesimpulan. Jangan menerima sesuatu hanya karena pertimbangan nalar. Jangan menerima sesuatu hanya karena hal itu sesuai dengan gagasan yang telah dibayangkan sebelumnya. Jangan menerima sesuatu hanya karena hal tampaknya dapat diterima ( dengan berpikir bahwa karena si pembicara adalah orang yang baik, maka kata – katanya harus diterima ). Jangan menerima sesuatu dari seorang pertapa ( guru ) dan karenanya kita patut menerima kata – katanya “.

Bila engkau ( Anda ) mengetahui dan yakin bahwa hal – hal itu tidak bermoral, tercela, dikecam oleh para bijaksana, bila dilakukan dan dilaksanakan akan membawa kericuhan dan kesedihan, maka tentu saja engkau ( Anda ) harus menolak hal – hal tersebut. Inilah yang dikatakan tidak beragama karena bertentangan dengan tujuan semua agama.

Apabila engkau ( Anda ) mengetahui dan yakin, bahwa ini bermoral, tidak tercela, dipuji oleh para bijaksana ; bila dilakukan dan dilaksanakan akan mengakibatkan kesejahteraan dan kebahagiaan, maka engkau ( Anda ) harus bertindak sesuai dengannya, karena sesuai dengan tujuan agama. Agama bertujuan dan menunjukkan jalan didunia dan jalan menuju ke sorga supaya mereka yang mengikuti jalannya bisa mendapatkan kehidupan yang bahagia dan sejahtera baik di dunia maupun di akhirat.

Sampai sekarang sabda – sabda Sang Buddha ini masih menyimpan kekuatan dan kesegarannya yang asli.

Walapun tak ada kepercayaan yang membuta, tetapi orang akan bertanya, apa artinya patung dalam agama Buddha ?

Umat Buddha tidak memuja patung ( rupam ) dengan harapan untuk memperoleh keuntungan duniawi atau rohani, tetapi mereka menghormat apa yang dilambangkannya.

Dengan mempersembahkan bunga – bunga dan dupa dihadapan Buddha rupam, seorang Buddhis yang memiliki pengertian, akan merasa dirinya berhadapan dengan Sang Buddha sendiri dan dengan cara demikian ia mengharapkan memperoleh inspirasi dari kepribadian Sang Buddha. Pohon Bodhi juga merupakan lambang Penerangan Sempurna. Obyek – obyek penghormatan luar ini tidak mutlak perlu, tetapi mereka berguna karena dapat dipakai untuk memusatkan pikiran. Seorang yang sudah maju batinnya tidak perlu mempergunakan obyek – obyek luar tersebut, karena ia sudah dapat memusatkan perhatiannya dan menggambarkan Sang Buddha dalam batinnya.

Demi kebaikkan kita sendiri dan karena rasa syukur yang tak terhingga maka kita melakukan penghormatan luar seperti itu. Tetapi apa yang diharapkan oleh Sang Buddha dari para siswa-Nya bukanlah penghormatan semacam itu, melainkan pelaksanaan ajaran – ajaran Beliau dalam kehidupan sehari – hari. Sang Buddha bersabda : “ Ia yang melaksanakan ajaran – ajaran-Ku dengan baik berarti ia menghormati-Ku “.

Selain itu, perlu kiranya dicamkan bahwa, dalam agama Buddha tak ada permohonan atau doa – doa perantara. Betapapun seringnya kita berdoa pada Sang Buddha kita tak dapat diselamatkan-Nya. Sang Buddha tidak menjanjikan hadiah kepada mereka yang berdoa kepada-Nya. Agama Buddha mengajarkan meditasi yang dapat mengakibatkan pengendalian diri, penyucian dan penerangan batin. Meditasi bukan berdiam diri melamun atau mengosongkan pikiran. Meditasi adalah memusatkan pikiran. Sang Buddha tidak hanya menyatakan betapa sia – sianya doa – doa persembahan, tetapi Beliau juga mencela perbudakan mental. Seorang umat Buddha tidak seharusnya berdoa untuk keselamatannya, tetapi harus berusaha sendiri sekuat tenaga untuk mencapai kebebasan.

APAKAH AGAMA BUDDHA SEMACAM SISTEM ETIKA

Jalan menuju kebahagiaan yang ditunjukkan oleh Sang Buddha, adalah Sila, Samadhi dan Panna jadi tak perlu lagi diragukan bahwa agama Buddha berisi kaidah etika yng luhur yang tak ada bandingnya dalam kesempurnaan dan pengabdian tanpa pamrih. Etika agama Buddha berhubungan dengan cara hidup para Bhikkhu dan cara hidup umat awam. Tetapi agama Buddha bukan semata – mata ajaran moralitas biasa. Moralitas hanya merupakan permulaan dari Jalan Kesucian untuk mencapai tujuan, bukan tujuan itu sendiri. Walau moralitas penting, namun moralitas itu sendiri tidak cukup untuk mencapai kebebasan. Moralitas harus didukung dengan kebijaksanaan ( panna ). Dasar agama Buddha adalah moralitas, dan kebijaksanaan adalah puncaknya.

Dalam melaksanakan moralitas ; seorang Buddhis tidak boleh hanya memperhatikan dirinya sendiri, tetapi juga harus memperhatikan makhluk – makhluk lain, tidak terkecuali binatang – binatang. Dalam agama Buddha, moralitas tidak didasarkan atas suatu wahyu atau merupakan hasil rekaan seorang pandai. Moralitas adalah suatu aturan yang berdasarkan fakta – fakta yang dapat dibuktikan pada pengalaman sendiri.

Perlu ditegaskan bahwa tidak ada suatu kekuatan adikodrati apapun yang ikut ambil bagian dalam pembentukan sifat seorang Buddhis. Dalam agama Buddha tak ada orang yang memberi anugrah atau hukuman. Penderitaan dan kebahagiaan merupakan akibat dari perbuatan sendiri. Pernyataan tentang mendatangkan kesenangan atau kemurkaan seorang dewa tidak pernah terpikirkan oleh seorang Buddhis. Bukan harapan akan pahala atau rasa takut akan siksaan – siksaan yang mendorong ia untuk berbuat baik atau menahan diri dari perbuatan jahat. Seorang umat Buddha sadar akan akibat – akibat yang akan ia terima. Ia menahan diri dari perbuatan jahat karena perbuatan tersebut menghambat perkembangan batinnya dan ia berbuat baik karena hal itu membantu lajunya pencapaian Penerangan Sempurna ( bodhi ).

Untuk dapat mengerti betapa tingginya tingkat moral yang diharapkan oleh Sang Buddha dari para pengikut-Nya maka kita perlu membaca kitab Dhammapada, Sigalovada Sutta, Vyaggapajja Sutta, Mangala Sutta, Karaniya Sutta, Parabhava Sutta, Vassala Sutta, Dhammika Sutta, dan lain – lain.

Sebagai suatu ajaran moral, agama Buddha melampaui semua sistem etika lainnya, namun moralitas hanya permulaan, bukan merupakan tujuan agama Buddha.

Dalam satu arti agama Buddha bukan suatu filsafat, dalam arti lain agama Buddha adalah filsafat daripada filsafat – filsafat. Dalam satu arti agama Buddha bukan suatu agama, dalam arti lain adalah agama daripada agama – agama.

Agama Buddha bukan sesuatu yang metafisik atau ritualistis, tidak skeptis ataupun dogmatis, bukan penyiksaan diri ataupun pemuasan dalam kesenangan indria, tidak pesimis ataupun optimis, bukan keabadian ( eternalis ) ataupun pemusnahan ( nihilis ), bukan mutlak duniawi ataupun mutlak di atas duniawi. Agama Buddha adalah suatu Jalan Penerangan Sempurna yang unik.

Istilah asli untuk agama Buddha dalam bahasa Pali adalah Dhamma, yang secara harfiah berarti apa yang mendukung. Tak ada padanan dalam bahasa Indonesia yang dapat menerangkan arti istilah Pali tersebut secara tepat.

Dhamma adalah apa yang nyata. Ia adalah ajaran kebenaran. Ia adalah suatu jalan menuju kebebasan dari penderitaan dan kebebasan itu sendiri. Apakah para Buddha muncul di dunia atau tidak, Dhamma tetap ada. Dhamma tidak terlihat oleh mata orang bodoh, sampai seorang Buddha yang telah mencapai Penerangan Sempurna, memahami-Nya dan mengajarkan kepada dunia atas dasar kasih sayang-Nya yang tak terbatas.

Dhamma bukan sesuatu yang berada di luar diri kita tetapi berhubungan erat dengan diri sendiri. Sebagaimana telah dikatakan oleh Sang Buddha : “ Jadilah pulau bagi dirimu sendiri. Jadilah perlindungan bagi dirimu sendiri. Berdiamlah dengan Dhamma sebagai sebuah pulau, dengan Dhamma sebagai suatu perlindungan. Janganlah mencari perlindungan di luar dirimu “. ( Maha Parinibbana Sutta ).

Dari uraian diatas jelaslah, bahwa agama Buddha adalah ajaran untuk mencapai Kebebasan, pengembangan pribadi ke arah Kesempurnaan.


Sumber :

Donasi 200/klik iklan, untuk membantu perkembangan Buddha Dhamma