Senin, 28 Juni 2010

Intisari V

INTISARI AGAMA BUDDHA
Merupakan karya tulis Ven. Narada Mahathera
dengan judul asli “ Buddhism in Nutshell.”
Penerbit : Yayasan Dhamma Phala, Semarang




KAMMA ATAU HUKUM SEBAB AKIBAT

Dunia telah membuktikan kenyataan yang telah kita lihat ketidak seimbangan itu. Kita menyaksikan perbedaan – perbedaan berbagai macam jalan kehidupan serta tingkah laku makhluk – makhluk yang hidup di alam semesta. Kita dapat melihat seseorang dilahirkan dalam keadaan berlebihan, dikarunia dengan pikiran, kepribadian dan tubuh yang sempurna ; sedangkan orang lain dilahirkan dalam keadaan sengsara dan menyedihkan. Bisa terjadi orang yang bajik dan saleh selalu bernasib buruk. Ia tetap miskin dan sengsara meskipun ia selalu berlaku jujur dan bajik. Sebaliknya, ada orang lain yang berwatak jahat, kejam dan korup, tetapi selalu mujur, dikaruniai dengan segala bentuk kesenangan.

Timbul berbagai pertanyaan dalam diri kita, mengapa seseorang mempunyai kedudukan rendah, sedang orang lain mempunyai kedudukan mulia ? Mengapa seseorang harus direnggut dari tangan ibu yang penuh kasih sayang sewaktu ia masih kanak – kanak, sedangkan orang lain meninggal dalam usia remaja atau pada usia delapan puluh atau seratus tahun ? Mengapa seseorang memiliki fisik lemah dan berpenyakitan, sedang orang lain memiliki tubuh yang kuat dan sehat ? Mengapa seseorang berwajah tampan, dan orang lain berwajah buruk, menakutkan, sehingga orang lain ngeri dan takut melihatnya ? Mengapa seseorang dibesarkan dalam kemewahan, sedang orang lain dibesarkan dalam kemiskinan dan kesengsaraan ? Mengapa seseorang terlahir sebagai jutawan, sedang orang lain terlahir sebagi pengemis ? Mengapa seseorang memiliki kecerdasan luar biasa, sedang orang lain begitu tolol ? Mengapa seseorang terlahir dengan sifat saleh, sedangkan orang lain terlahir dengan kecenderungan – kecenderungan kriminal ? Mengapa ada orang yang berbakat sebagai ahli bahasa, artis, ahli matematika atau ahli musik sejak lahir ? Mengapa ada orang yang buta, tuli dan cacat sejak lahirnya, mengapa ? Inilah beberapa pertanyaan yang membingungkan orang – orang. Bagaimana kita harus menerangkan “ ketidakadilan “ dunia, perbedaan – perbedaan di antara umat manusia ini ? Apakah semua fenomena itu terjadi secara kebetulan ?

Dalam dunia ini tak ada sesuatu yang terjadi secara kebetulan. Menyatakan bahwa sesuatu terjadi secara kebetulan adalah sama salahnya dengan menyatakan buku ini ada dengan sendirinya tanpa ada faktor – faktor lain sebelumnya. Sesungguhnya, tak ada sesuatu yang terjadi pada manusia tanpa alasan dan yang tidak dikehendaki.

Apakah hal – hal ini disebabkan oleh sesuatu makhluk yang tak bertanggung jawab ?

Huxley menulis : “ Apakah kita berpendapat bahwa ada seseorang atau sesuatu yang mengatur keadaan alam semesta yang menakjubkan ini, maka dalam pengertianku ia tidak dapat disebut murah hati dan adil, melainkan kejam dan tidak adil “.

Menurut Einstein : “ Bila makhluk adikodrati ini maha kuasa, maka setiap kejadian, termasuk setiap perbuatan, pikiran, perasaan dan aspirasi manusia juga merupakan karyanya ; lalu bagaimana manusia harus bertanggung jawab atas perbuatan – perbuatan dan pemikiran – pemikiran mereka dihadapan makhluk maha kuasa seperti itu ?

“ Sewaktu memberi hukuman dan anugrah, ia sedikit banyak juga harus mengadili dirinya sendiri. Lalu bagaimana hal ini dapat dikaitkan dengan kebajikan dan keadilan yang dianggap berasal dari dirinya ? ”.

“ Menurut asas – asas theologie, manusia diciptakan bukan atas dasar keinginannya sendiri, dan untuk selamanya ia mulia atau celaka. Dengan begitu, sejak awal dalam proses penciptaan fisiknya sampai saat kematiannya, manusia itu dapat baik atau jahat, beruntung atau celaka, mulia atau hina, tanpa menghiraukan akan keinginan – keinginan, harapan – harapan, cita – cita, usaha – usaha atau doa sujudnya. Inilah fatalisme theologi “. ( Spencer Lewis ).

Sebagaimana Charles Bradlaugh mengatakan : “ Adanya keburukan merupakan suatu penghalang yang menakutkan bagi ajaran theis. Penderitaan, kesengsaraan, kejahatan, kemiskinan bertolak belakang dengan penganjur kebaikan abadi dan berlawanan dengan pernyataannya akan kemampuan dirinya sebagai dewa serba baik, serba bijaksana dan serba kuasa “.

Menurut Schopenhauer “ Barang siapa menganggap dirinya berasal dari ketiadaan, maka ia juga harus berpikir bahwa ia akan kembali ke ketiadaan itu lagi ; suatu kekekalan telah lewat sebelum ia ada dan kekekalan kedua telah dimulai, yang melaluinya ia tidak akan pernah berakhir adalah suatu pemikiran yang menakutkan “.

“ Bila kelahiran adalah permulaan yang mutlak, maka kematian seharusnya akhir yang mutlak pula. Anggapan bahwa manusia berasal dari ketiadaan pasti akan membawa pada anggapan bahwa kematian adalah akhir yang mutlak “.

Memberikan komentar terhadap penderitaan manusia dan dewa pencipta, Prof.J.B.S. Haldane menulis : “ Kalau bukan penderitaan yang diperlukan untuk menyempurnakan sifat manusia, tentu dewa pencipta itu tidak maha kuasa. Teori yang pertama tidak sesuai dengan kenyataan bahwa, sebagian orang yang hanya sedikit sekali menderita namun beruntung dalam keturunan dan pendidikan terbukti mempunyai sifat yang baik. Keberatan terhadap teori yang kedua adalah bahwa hal itu hanya berkenaan dengan alam semesta secara keseluruhan dan bahwasanya terdapat suatu kekosongan intelektual yang harus diisi dengan mendalilkan seorang dewa. Dan barangkali seorang pencipta dapat menciptakan apa saja yang dia inginkan “.

Lord Russell menyatakan : “ Sebagaimana diceritakan kepada kita, dunia diciptakan oleh seorang dewa yang baik dan maha kuasa. Sebelum dia menciptakan dunia, ia telah melihat seluruh penderitaan dan kesengsaraan yang akan terjadi di dalamnya. Karenanya, ia bertanggung jawab atas segala sesuatunya. Adalah suatu hal yang sia – sia memperdebatkan bahwa penderitaan dalam dunia disebabkan oleh dosa. Bila dewa pencipta itu telah mengetahui sebelumnya akan dosa yang bakal dilakukan umat manusia, maka jelas ia bertanggung jawab akan akibat – akibat dosa itu.

Mungkinkah segala perbedaan yang ada pada manusia ini disebabkan oleh faktor keturunan dan lingkungan ? kita harus mengakui bahwa semua fenomena fisik – kimiawi yang diungkapkan oleh para ilmuwan, sebagian adalah sebagai faktor pembantu, tetapi tidak seluruhnya mutlak bertanggung jawab atas perbedaan – perbedaan besar yang terdapat di antara individu – individu. Lalu mengapa ada anak kembar yang memiliki tubuh serupa, mewarisi gen yang sejenis, menikmati kesempatan asuhan yang sama, seringkali memiliki watak, moral dan kecerdasan yang sangat berbeda ?

Keturunan saja tidak dapat menyebabkan perbedaan – perbedaan yang besar ini. Sesungguhnya, faktor keturunan lebih masuk akal atas persamaan – persamaan mereka daripada atas perbedaan – perbedaan. Benih fisik – kimiawi dengan panjangnya kira – kira sepertiga puluh inci yang diwarisi dari orang tua, hanya menerangkan satu bagian dari manusia, yaitu dasar fisiknya. Mengenai perbedaan – perbedaan batin, intelektual dan moral yang jauh lebih kompleks dan halus itu diperlukan penerangan batin yang lebih dalam. Teori keturunan tidak dapat memberikan suatu jawaban yang memuaskan tentang lahirnya seorang kriminal dalam sebuah keluarga yang mempunyai leluhur terhormat atau kelahiran seorang suci atau mulia dalam sebuah keluarga yang memiliki reputasi jelek dan tentang lahirnya seorang tolol, manusia genius dan guru – guru besar.

Menurut agama Buddha, perbedaan – perbedaan ini tidak hanya disebabkan oleh faktor keturunan dan lingkungan, tetapi juga disebabkan oleh kamma kita sendiri, atau dengan kata lain, disebabkan oleh akibat dari perbuatan lampau kita dan perbuatan – perbuatan kita sekarang. Kita sendiri yang harus bertanggung jawab atas perbuatan – perbuatan kita. Kita membangun penjara kita sendiri. Kita adalah arsitek dari nasib kita sendiri. Singkatnya, diri kita merupakan akibat dari kamma kita sendiri.

Bagaimana kita bisa mempercayai semua ini, dengan perbedaan berdasarkan hukum sebab akibat atau sebagai hasil dari bibit kammanya sendiri. Disinilah Sang Buddha tidak memaksa supaya kita percaya. Hal ini malah kita diminta untuk datang dan buktikan terlebih dahulu. Semua hal ini bagaikan Beliau menerangkan masalah Bakteri, Virus dan sebagainya. Kita bisa membuktikan adanya mereka dengan melihat dan menyaksikan sendiri dengan menggunakan microscope elektrone. Kalau kita ingin melihat dengan mata daging ini sudah pasti Hukum Kamma yang begitu rumit dan susah dilihat akibatnya. Tetapi semua ini telah dibuktikan kebenarannya itu oleh para Suciwan. Dengan kekuatan batin yang tenang didalam Jhana IV. Jadi secara tegas siapapun yang mampu mencapai Jhana IV. Mereka pasti bisa membuktikan kebenaran itu.

Pada suatu ketika, seorang pemuda bernama Subha datang menemui Sang Buddha dan bertanya kepada Beliau, “ Mengapa dan apa sebabnya di antara umat manusia ada yang memiliki keadaan rendah dan ada yang memiliki keadaan mulia ? Mengapa ada manusia yang berumur pendek dan ada yang berumur panjang, ada yang sehat dan ada yang berpenyakitan, ada yang berwajah tampan dan ada yang berwajah buruk, ada yang berkuasa dan yang tertindas, ada yang miskin dan ada yang kaya, ada yang hina dan ada yang mulia, ada yang bodoh dan ada yang bijaksana ? “

Sang Buddha menjawab : “ Semua makhluk memiliki kammanya sendiri, mewarisi kammanya sendiri, lahir dari kammanya sendiri, berhubungan dengan kammanya sendiri, terlindung oleh kammanya sendiri. Kammalah yang membuat semua makhluk menjadi berbeda, hina atau mulia “.

Selanjutnya Sang Buddha menerangkan sebab perbedaan – perbedaan tersebut sesuai dengan hukum Sebab Akibat.

Dari sudut pandangan agama Buddha, perbedaan – perbedaan batin, intelektual, moral dan watak kita sekarang, pada prinsipnya disebabkan oleh perbuatan – perbuatan kita sendiri yang dilakukan di waktu lampau dan di waktu sekarang.

Secara harfiah kamma berarti perbuatan, tetapi, dalam pengertian mutlaknya kamma berarti kehendak. Kamma ada yang baik ( Kusala Cetana ) dan yang buruk ( Akusala Cetana ) . Perbuatan baik akan membuahkan kebaikan. Perbuatan jahat akan membuahkan kesedihan. Inilah hukum kamma.

Kita memetik apa yang kita tanam. Kita adalah akibat dari apa yang kita lakukan di waktu lampau ; kita akan menjadi akibat dari apa yang kita lakukan sekarang, tetapi kita tidak mutlak hanya merupakan akibat dari apa yang kita lakukan diwaktu lampau ; kita tidak mutlak hanya menjadi akibat dari apa kita lakukan sekarang. Misalnya seorang kriminal mungkin saja dapat menjadi orang suci dikemudian hari dan sebaliknya.

Agama Buddha mengkaitkan perbedaan ini dengan kamma, tetapi tidak menyatakan bahwa segala sesuatu disebabkan oleh kamma saja. Apabila segala sesuatu disebabkan oleh kamma, maka seorang penjahat akan selamanya menjadi jahat, karena kammanya yang menjadikan dirinya jahat. Orang tidak perlu memeriksakan dirinya ke dokter untuk disembuhkan penyakitnya, karena bila kammanya memang harus demikian ia akan sembuh dengan sendirinya.

Menurut agama Buddha, terdapat lima hukuman atau proses ( Niyama ) yang berlaku dalam alam mental dan fisik, yaitu :

• Kamma niyama atau hukum sebab dan akibat : perbuatan baik dan buruk menghasilkan akibat –

akibat yang sesuai.

• Bija niyama atau hukum benih ( hukum fisik organik ) ; beras dihasilkan dari padi, gula

dihasilkan dari tebu atau madu, dan lain – lain. Teori ilmiah tentang sel – sel dan gen – gen ( plasma pembawa sifat ) dan kemiripan fisik anak kembar dapat dianggap berasal dari hukum ini.

• Utu niyama atau hukum fisik ( inorganik ), yaitu fenomena angin dan hujan menurut musim.

• Citta niyama atau hukum pikiran ( hukum psikis ), yaitu proses – proses kesadaran ( citta vitthi ), kekuatan pikiran dan lain – lain.

• Dhamma niyama atau hukum alam, yaitu : fenomena alam yang terjadi pada saat kedatangan Bodhisatta pada kelahiran terakhir, gaya tarik bumi, dan lain – lain.

Setiap fenomena mental dan fisik dapat diterangkan dengan lima hukum serba lengkap ini, atau proses yang merupakan hukum itu sendiri.

Karena itu, kamma hanyalah merupakan salah satu dari lima hukum yang berlaku dalam alam semesta. Kamma adalah hukum itu sendiri, tetapi dengan demikian tidak berarti harus ada seseorang pemberi hukum. Kamma bekerja dalam bidangnya sendiri tanpa campur tangan atau pengaruh dari apapun. Misalnya, tak ada orang yang memutuskan bahwa api itu harus membakar. Tak ada orang yang memerintahkan bahwa air harus mencari permukaan yang rendah. Tak ada ilmuwan yang memerintahkan bahwa air harus terdiri dari H2O dan sifat dingin harus menjadi salah satu sifatnya. Kamma bukanlah nasib atau takdir yang ditimpakan pada kita oleh kekuatan misterius yang tak dikenal, kepada siapa kita harus menyerahkan diri kita tanpa daya. Perbuatan seseorang sendirilah yang memberi akibat pada dirinya, sehingga dengan demikian ia mempunyai suatu kemungkinan untuk membelokkan jalannya kamma sampai taraf tertentu. Berapa jauh ia dapat membelokkannya tergantung pada usaha dirinya sendiri.

Perlu diingatkan di sini, bahwa fraseologi seperti anugrah dan hukuman jangan dimasukkan dalam pembicaraan mengenai kamma. Kamma dalam agama Buddha tidak mengakui Dewa Maha Kuasa yang memerintah warganya dan memberikan anugrah atau hukuman. Umat Buddha percaya bahwa kesedihan dan kebahagiaan yang dialami seseorang merupakan akibat wajar dari perbuatan – perbuatan baik dan buruknya sendiri. Disini perlu dinyatakan bahwa kamma memiliki dua prinsip, kelangsungan dan balas jasa.

Sifat yang terdapat dalam hukum kamma adalah kemampuan yang menghasilkan akibat sebagaimana mestinya. Sebab menghasilkan akibat ; akibat menerangkan sebab. Benih menghasilkan buah ; buah menghasilkan benih, karena keduanya saling berhubungan. Begitu juga, kamma dan akibatnya saling berhubungan ; “ akibat berkembang di dalam sebab “.

Seorang umat Buddha yang benar – benar yakin akan kamma tak akan berdoa pada makhluk lain untuk diselamatkan, tetapi dengan penuh keyakinan ia bergantung pada dirinya sendiri untuk mencapai kesuciannya, karena hukum kamma mengajarkan tanggung jawab pribadi.

Ajaran kamma inilah yang memberi hiburan, harapan, kepercayaan pada diri sendiri dan keberanian moral. Keyakinan dalam hukum kamma inilah “ yang mengabsahkan usaha, mengorbankan semangat, untuk selalu berbuat bajik, toleran dan berhati – hati “. Keyakinan yang teguh dalam ajaran hukum kamma ini juga mendorong untuk berbuat baik dan menjadi orang baik tanpa merasa takut akan hukuman atau tergoda oleh anugerah apapun. Ajaran kamma inilah yang dapat menerangkan persoalan – persoalan mengenai penderitaan, misteri yang dinamakan nasib atau takdir dalam ajaran – ajaran lain dan terpenting adalah menerangkan “ ketidaksamaan di antara umat manusia “. Kamma dan tumimbal lahir diterima sebagai dalil.



TUMIMBAL LAHIR

Selama kekuatan kamma masih ada, selalu akan terjadi tumimbal lahir. Makhluk – makhluk merupakan perwujudan nyata dari kekuatan yang tak terlihat ini. Kematian hanya merupakan akhir sementara dari fenomena yang tidak langgeng ini. Kehidupan organik telah berakhir, tetapi kekuatan kamma yang telah menggerakkannya sampai sekarang ini belum hilang. Karena kekuatan kamma tidak terganggu oleh kehancuran badan jasmani, maka datangnya saat pikiran kematian ( Cuti Citta ) sekarang ini mempersiapkan kesadaran baru dalam kelahiran berikutnya.

Kamma yang berakar pada kebodohan dan nafsu keinginan menjadi syarat bagi tumimbal lahir. Kamma lampau menentukan kelahiran sekarang dan kamma sekarang bergabung dengan kamma lampau, menentukan kelahiran berikutnya. Keadaan sekarang adalah akibat dari keadaan yang lalu dan menjadi sebab dari akibat yang akan datang. Sebab menjadi akibat dan akibat menjadi sebab. Dalam suatu lingkaran sebab akibat, sebab awal tak dapat diketahui. Menurut teori pertama, kehidupan mempunyai awal ; sedang menurut teori kedua, kehidupan tak mempunyai awal.

Dari sudut pandangan ilmiah, kita merupakan produk langsung dari bersatunya sperma dan sel telur orang tua kita. Demikianlah hidup mendahului hidup. Mengenai asal mula protoplasma kehidupan yang pertama, atau koloid, para ilmuwan tetap berdiam diri.

Menurut agama Buddha kita lahir dari rahim perbuatan ( Kammayoni ) . Orang tua hanya semata – mata menyediakan satu sel yang amat kecil. Demikianlah perwujudan mendahului perwujudan. Pada saat terjadinya kehamilan, tenaga kamma lampau mempersiapkan kesadaran – kelahiran yang memberi gaya hidup kepada janin itu. Tenaga kamma yang tak terlihat yang berasal dari kehidupan lampau inilah yang menghasilkan fenomena mental dan kehidupan dalam suatu fenomena fisik yang sudah ada, melengkapi trio yang membentuk manusia.

Untuk lahirnya seorang makhluk di suatu tempat harus ada seorang makhluk yang mati di tempat lain. Kelahiran seorang makhluk, sesungguhnya berarti munculnya lima khandha ( kelompok kehidupan ) atau fenomena psiko – fisik dalam kehidupan sekarang ini yang dapat disamakan dengan kematian seorang makhluk dalam suatu kehidupan lampau. Seperti misalnya dalam contoh sehari – hari : timbulnya matahari di suatu tempat dan terbenamnya di tempat lain. Pernyataan yang membingungkan ini dapat dimengerti lebih baik dengan membayangkan kehidupan ini seperti gelombang dan bukan seperti suatu garis lurus. Kelahiran dan kematian merupakan dua fase dari satu proses yang sama. Kelahiran mendahului kematian dan sebaliknya, kematian mendahului kelahiran. Rangkaian kelahiran dan kematian yang tetap dalam kaitannya dengan arus kehidupan masing – masing individu membentuk apa yang secara tehnis dikenal sebagai Samsara – pengembaraan berulang – ulang.

Apakah asal mula kehidupan itu ? Sang Buddha menyatakan : “ Awal proses samsara ini tidak dapat dipahami. Makhluk pertama yang digelapi oleh kebodohan dan dibelenggu oleh nafsu keinginan, berkelana dan tunggang langgang di dalam kehidupan tak menentu. “

Arus kehidupan ini mengalir terus tanpa akhir, ad – infinitum selama terus diisi dengan lumpur kebodohan dan nafsu keinginan. Hanya bilamana kedua hal ini hancur seluruhnya, maka arus samsara ini akan berhenti mengalir. Tumimbal lahir berakhir seperti halnya dengan para Buddha dan Arahat. Awal mula kehidupan ini tidak dapat dipastikan, karena taraf dimana kekuatan hidup ini masih belum dipenuhi dengan kebodohan dan nafsu keinginan tidak dapat diketahui. Sang Buddha hanya menunjukkan permulaan arus kehidupan makhluk – makhluk. Terserah kepada para ilmuwan untuk berspekulasi tentang asal mula dan evolusi dalam semesta.

Sang Buddha tidak mencoba memecahkan semua persoalan etika dan filsafat yang membuat bingung umat manusia. Beliau pun tidak berurusan dengan teori – teori dan spekulasi – spekulasi yang tidak membawa kepada kemajuan batin dan pada penerangan sempurna. Beliau juga tidak menuntut kepercayaan membuta dari para pengikut-Nya tentang sebab awal. Beliau semata – mata hanya memperhatikan persoalan penderitaan dan penghancurannya.

Tetapi bagaimana kita bisa percaya bahwa ada suatu kehidupan lampau ? Sumber keterangan mengenai tumimbal lahir yang amat diyakini oleh umat Buddha adalah Sang Buddha sendiri. Beliau telah mengembangkan pengetahuan yang menjadikan Beliau mampu melihat kehidupan – kehidupan yang lampau dan kehidupan yang akan datang.

Dengan mengikuti petunjuk – petunjuk Beliau, para siswa-Nya juga mengembangkan pengetahuan ini, sehingga mereka mampu melihat sebagian besar kehidupan lampau mereka sendiri.

Bahkan sebelum zaman Sang Buddha, resi – resi India sudah terkenal akan kemampuannya telinga-dewa dan mata-dewa mereka dan kepandaiannya membaca pikiran serta mengingat kelahiran – kelahiran lampau.

Ada juga beberapa orang yang mungkin sesuai dengan hukum perhubungan, mendadak dapat memiliki kemampuan mengingat kehidupan serta perjalanan hidup mereka yang lampau. Hal seperti ini memang jarang, tetapi beberapa peristiwa yang telah dibuktikan kebenarannya itu, merupakan kejadian yang cukup baik untuk menjelaskan paham mengenai kehidupan lampau. Begitu juga mengenai pengalaman – pengalaman beberapa ahli ilmu jiwa modern yang dapat dipercaya dan kejadian – kejadian aneh tentang kepribadian ganda yang berubah – ubah.

Dalam keadaan dihipnotis, beberapa orang dapat menceritakan pengalaman – pengalaman dalam kehidupan lampau mereka ; sedangkan beberapa orang lainnya dapat membaca kehidupan lampau orang – orang lain dan bahkan dapat mengobati berbagai penyakit.

Kadang – kadang kita memperoleh pengalaman aneh yang hanya dapat diterangkan melalui teori tumimbal lahir.

Sering kita bertemu dengan orang – orang yang belum pernah kita kenal, namun secara naluri kita merasa bahwa mereka pernah dekat dengan kita. Betapa seringnya kita mengunjungi tempat – tempat tertentu dan merasa seolah – olah kita sudah biasa dan tidak asing lagi dengan lingkungan itu.

Sang Buddha menyatakan : “ Melalui pengalaman dulu dan kesempatan – kesempatan dalam hidup sekarang, kenangan lama tumbuh kembali bagaikan bunga teratai muncul dari dalam air “. Pengalaman – pengalaman beberapa ahli ilmu jiwa yang dapat dipercaya, fenomena – fenomena ajaib, komunikasi roh, kejadian aneh tentang kepribadian ganda dan sebagainya, dapat menjelaskan tentang persoalan tumimbal lahir ini.

Dalam dunia ini terlahir beberapa manusia sempurna seperti para Buddha, orang – orang jenius. Apakah mereka tiba – tiba saja sempurna ? Dapatkah mereka merupakan hasil dari satu kehidupan saja ?

Bagaimana kita akan menerangkan tentang pribadi – pribadi besar seperti Buddhaghosa, Panini, Kalidasa, Homer dan Plato, manusia – manusia genius seperti Shakespeare, anak – anak ajaib seperti Pascal, Mozart, Beethoven, Raphael, Ramanujan dan lain – lain. Fakor keturunan saja tidak dapat menjelaskan kehadiran mereka.

Dapatkah karier mereka menanjak demikian tingginya bila mereka tidak mengalami kehidupan dan pengalaman serupa dalam kehidupan mereka yang lampau ? Apakah hanya karena kebetulan bahwa mereka dilahirkan dari orang tua tertentu sehingga berada dalam lingkungan – lingkungan yang menguntungkan tersebut.

Kesempatan hidup beberapa tahun dalam dunia ini atau paling sedikit lima tahun, sudah pasti tidak dapat merupakan persiapan yang cukup untuk mencapai kepandaian itu. Bila orang percaya akan kehidupan sekarang dan yang akan datang, maka cukup masuk akal untuk percaya akan adanya kehidupan lampau. Saat sekarang merupakan anak dari saat yang lampau dan selanjutnya menjadi orang tua dari saat mendatang.

Bila ada alasan – alasan untuk percaya bahwa kita pernah hidup pada waktu lampau, maka pasti tak ada alasan untuk tidak percaya bahwa kita akan tetap hidup setelah kehidupan kita nampaknya berakhir.

Seorang penulis barat menyatakan : “ Apakah kita mempercayai adanya suatu kehidupan lampau atau tidak, hal tersebut merupakan satu – satunya hipotesa yang masuk akal yang menjembatani jurang tertentu dalam pengetahuan manusia tentang berbagai fakta kehidupan sehari – hari “. Nalar kita memberitahukan bahwa paham tentang kehidupan lampau dan kamma ini sajalah yang dapat menerangkan tingkat – tingkat perbedaan yang ada di antara anak kembar ; bagaimana orang seperti Shakespeare dengan bekal pengalaman yang amat terbatas mampu menulis dengan kecepatan yang mengagumkan tentang berbagai macam karakter dalam adegan – adegan sandiwaranya yang belum pernah ia pelajari sebelumnya. Mengapa karya orang – orang jenius selalu melampaui bekal pengalamannya sendiri ?

Perlu dicamkan apakah ajaran tumimbal – lahir ini dibenarkan atau tidak, namun hal itu diterima sebagai suatu fakta yang dapat dibuktikan kebenarannya.

Sang Buddha selanjutnya menyatakan : “ Sebab dari kamma ini adalah avijja atau ketidaktahuan tentang Empat Kebenaran Mulia . Karena itu kebodohan merupakan sebab kelahiran dan kematian ; pengetahuan ( vijja ) tentang Empat Kebenaran Mulia berakibat berhentinya proses kelahiran dan kematian ini. “

Percayakah kita terhadap tumimbal lahir ?

Hal ini harus anda jawab sendiri. Adakah hari esok ? Besok itu ada dan menjadi hari ini. Sekarang ini ada karena kelanjutan dari hari kemarin. Jadi dengan tegas terlihat kemarin itu ada, sebagai persamaan dari kehidupan yang lampau. Sekarang ini adalah kehidupan kita sekarang dan besok ada karena adanya sekarang yang mana menunjukkan dengan adanya hidup sekarang masih ada kelanjutan dalam kehidupan yang mendatang !!!

Hasil metode analitis ini diterangkan dalam Paticca Samuppada.

Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Donasi 200/klik iklan, untuk membantu perkembangan Buddha Dhamma